Minggu, 26 April 2009

HAK ASASI MANUSIA : HAK-HAK EKONOMOI, SOSIAL DAN BUDAYA

Oleh Husnu Abadi [1]

Ketika pembicaraan tentang hak asasi manusia di tahun 1945, Bung Karno sangat menginginkan agar hak-hak sipil dan politik seperti hak menyampaikan pendapat, lisan dan tulisan, kebebasan berasosiasi, tidak perlu dimasukkan dalam pasal-pasal konstitusi, tetapi menginginkan agar lebih baik negara memperhatikan agar masyarakat kecil tidak lapar, dan karenanya haruslah disejahterakan. Apa gunanya dijamin kebebasan berserikat dan kebebasan menyampaikan pendapat, kalau rakyatnya miskin-miskin. Kompromi pun terjadi, hak-hak sipil dan politik (disingkat Hak Sipol) dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (disingkat Hak Ekosob) memperoleh tempat terhormat dalam konstitusi 1945.
Terdapat perbedaan tentang peran negara dalam menegakkan kedua generasi HAM itu, yaitu untuk HAM Sipol, menghendaki negara mengurangi peranannya sedemikian rupa, dan memberikan kebebasan kepada warga yang sedemikian luas. Pelanggaran atas pelanggaran Hak-hak Sipol, dimonitor oleh Komisi HAM PBB dan negara dapat dituntut oleh warga atas pelanggarannya. Kekerasan negara atas warganya (seperti kasus Trisakti, Santa Cruz, Timika, Tanjung Priok, Talangsari) dapat menjadi contoh dalam kasus ini. Namun dalam pemenuhan, perlindungan, penghormatan atas hak-hak Ekosob, menghendaki usaha besar negara bersama warganya untuk melaksanakannya. Kegagalan negara dalam memberantas kemiskinan dan kelaparan, misalnya, dalam sistem hukum yang ada, tidak semudah dalam pelanggaran hak-hak sipol, ketika warga hendak menunut negara. Monitoring oleh Komisi HAM PBB hanya menghendaki masing-masing negara anggota melaporkannya, tentang kemajuan yang telah dicapainya.[2]
Hak-hak Ekosob, dirumuskan pada Tahun 1966 oleh masyarakat PBB, dalam sebuah Covenan, dimana setelah diratifikasi oleh sejumlah negara, agar berlaku efektif. Indonesia harus menunggu empat dasarwarsa untuk melakukan ratifikasi yakni baru pada tahun 2005. Hingga tanggal 15 Juni 2000, CESCR telah diratifikasi oleh 142 negara, dan Indonesia baru meratifikasi, 30 Sept. 2005 ini (Persetujuan DPR-Presiden menjadi UU), dan kemudian terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi CESCR, UU No. 12 Tahun 2005 tentang ICCPR. Tingginya tingkat ratifikasi ini menunjukkan bahwa kovenan ini memiliki karakter universalitas yang sangat kuat. Tentu saja dapat dikaji oleh jauh, mengapa kovenan itu harus begitu lama untuk dapat diratifikasi, apa masalah politik yang melingkupinya, apakah perdebatan yang dahulu terjadi ketika di tahun 1945, kembali berulang ketika bangsa ini harus mengambil suatu keputusan, meratifikasi atau tidak sama sekali.


Hak-hak Ekosob yang relevan dengan kajian seminar ini, akan kami kutip beberapa rumusannya sebagai berikut :

Pasal 27
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Pasal 28 A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
Pasal 28 B
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Pasal 23 G
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi

Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28 H
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan ksehatan
Pasal 28 I
Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah

Dalam uraian di atas, telah kami kutip tentang peranan negara yang harus dijalankan, dalam rangka penegakan Hak-hak Ekosob ini. Hal ini antara lain harus dijabarkan dalam rencana jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah maupun dalam rencana pembangunan tahunannya yang dicerminkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah. Artinya, setiap tahun masyarakat dapat memperhatikan kebijakan publik yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah masing-masing.[3] Apakah suatu pemerintah daerah akan memperhatikan pasar tradisional; ketertiban, keindahan dan kebersihan kota; pengkondisian iklim usaha yang kondusif sehingga memperbesar peluang lapangan kerja atau sebaliknya ; pembangunan kesehatan; perluasan kesempatan memperoleh pendidikan dasar bagi kaum miskin; pembangunan sarana dan prasarana bagi pemukiman rakyat kecil; pembangunan sarana air bersih; dan lain-lain ?

Mengenai hak-hak Ekosob, khususnya yang berkenaan upaya mengakui (to recognize), mempromosikan (to promote), menghormati (to respect) serta melindungi (to protect), memenuhi, memfasilitasi, menyediakan ( to fulfill, to facilitate and to provide), masih terdapat banyak pihak yang mempunyai pandangan yang keliru (keliru pandang). Paling tidak ada terdapat 3 keliru pandang yaitu[4] :
Pertama, pemenuhan Hak Ekosob, dipenuhi secara bertahap (progressive realization). Pandangan yang demikian ini memiliki kelemahan yang mendasar. Hal ini, misalnya, bila dikaitkan dengan prinsip dasar dalam hak asasi manusia yaitu prinsip non diskriminasi. Prinsip ini secara serta merta (otomatis) menjadi kewajiban negara dalam pemenuhannya. Pelaksanaan prinsip ini tidak mengenal dilakukan secara bertahap. Artinya, pelaksanaan pemenuhan hak Ekosob ini haruslah secara seketika. Tanpa diskriminasi artinya tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, aliran politik, asal usul kebangsaan, status sosial, kekayaan atau lainnya. Obligasi negara dalam konteks ini adalah pernyataan komitmen dan kemauan baik dan tidak mengenal istilah setengah komitmen (komitmen setengah hati).
Kedua, pemenuhan Hak Ekosob membutuhkan biaya. Pandangan yang keliru selalu menyatakan bahwa pemenuhan hak Ekosob, seperti hak atas penghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, tidaklah dapat dipenuhi begitu saja tanpa ada anggaran yang memadai. Pandangan ini tidak seluruhnya benar. Sebagai gambaran dapat dilihat hal-hal sebagai berikut : kalaulah negara belum mempunyai kemampuan untuk memberikan fasilitas perumahan yang layak, sebagaimana yang seharusnya menjadi obligasi negara berdasarkan konstitusi atau Pasal 11 kovenan, maka negara janganlah melakukan penggusuran.
Kalaulah negara belum mempunyai kemampuan untuk membuka lapangan kerja yang memadai, sehingga kaum miskin penganggur terpaksa memenuhi kaki lima untuk berniaga, maka negara janganlah melakukan penertiban, pengusiran, penggusuran, penyitaan, pembakaran !
Tidak melakukan penggusuran, tidak melakukan pengusiran, tidak melakukan penyitaan, tidak melakukan pembakaran merupakan suatu praktek yang tidak membutuhkan anggaran ![5]
Ketiga, pemenuhan Hak Ekosob mesti menunggi sumber daya berlimpah. Pandangan yang keliru selalu menyatakan bahwa untuk memenuhi Hak Ekosob haruslah dengan adanya sumber daya yang berlimpah, kalau suatu daerah atau negara tidak mempunyai sumber daya yang melimpah maka negara tersebut tidak mungkin melakukan pemenuhan dan penghormatan atas Hak Ekosob. Bila diperhatikan pernyataan Komite Hak Ekosob, dikatakan bahwa sumber daya yang ada haruslah digunakan dengan cara yang paling efektif (all existing resources must be devoted in the most effective way)
Ada baiknya bila dalam makalah ini disajikan sebuah contoh suatu kabupaten yang relatif tidak kaya seperti tergambarkan dalam APBD nya, tetapi dapat dikategorikan sebagai kabupaten yang core obligation dalam pemenuhan hak ekosob, khususnya hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan cukup memadai. [6]
Sebagai iullustrasi, dapat dicontohkan pencapaian Kabupaten Jembrana di bawah kepemimpinan I Gede Winarsa. Pada dasarnya kabupaten tersebut dinilai telah memenuhi obligasinya untuk memberikan perlindungan dan fasilitas bantuan pada keluarga, hak anak atas pendidikan dasar dan menurunkan drop out pelajar.[7]

Tabel 1 : APBD dan PAD Kab. Jembrana 2000-2004
Tahun :APBD dalam Milyar Rupiah : PAD
2000 : 66,9 : 2,5 M
2001 : 131, 5 : 5,5
2002: 171,7 : 11,5
2003: 193,1 : 11,0
2004 : 205,0 : 9,7

Tabel 2 ; Contoh Indikator pemenuhan di Kab.Jembrana
Tahun : 2001
Keluarga Miskin: 19,4 %
Kematian Bayi Per 1000 lahir hidup: 15,25
Tingkat DO Sekolah Dasar: 0.08 %
Tahun : 2002
Keluarga Miskin: 10,9 %
Kematian BayiPer 1000 lahir hidup: 8,39
Tingkat DO Sekolah Dasar: 0.02 %
Perubahan :
Keluarga Miskin: Berkurang 44 %
Kematian BayiPer 1000 lahir hidup: Berkurang 45 %
Tingkat DO Sekolah Dasar:Berkurang 75 %:

Dalam banyak hal, tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak ketentraman dan ketertiban umum dalam menindak pedagang kaki lima, pemukiman rakyat miskin, pedagang asongan dan lain-lain merupakan implementasi dari adanya peraturan daerah, peraturan kepala daerah ataupun dalam rangka mewujudkan keindahan, kebersihan dan ketertiban kota. Di satu segi penegakan ini memang mempunyai landasan yuridis yang dapat diterima. Namun memandang masalah kemiskinan, kemelaratan serta keterbelakangan dilihat dari segi masalah yuridis semata, tentu tidaklah memadai. Hal ini dikarenakan haruslah dikaitkan dengan tanggung jawab negara (core obligation) untuk mengakui, mempromosikan , menghormati, melindungi serta memenuhi hak-hak Ekosob[8]. Keinginan dan ambisi negara untuk menciptakan kota yang bersih, tertib dan tenteram haruslah serentak dengan keseriusan dalam menyelenggarakan pembukaan lapangan kerja, pemukiman atau tempat tinggal, menciptakan kondisi yang kondisif buat dunia usaha. Kesombongan negara yang paling nyata adalah ketika negara gagal untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan buat rakyat miskin, namun dengan kekuatan dan kekuasaannya, negara merasa sangat wajib untuk melakukan penertiban di sana-sini, yang korbannya adalah warga miskin.

Bagi suatu negara yang mempunyai masalah pembangunan sangat komplek : kemampuan merencanakan, mengawasi, melaksanakan, memelihara, mengevaluasi, upaya mewujudkan pemerintahan (tatakelola) yang bersih, berhadapan dengan tantangan pertumbuhan ekonomi, pertambahan populasi, masalah perkembangan international (global) dan lain-lain tidaklah dapat ditanggulangi semata hanya melalui satu pendekatan. Oleh karena itu dalam menanggulangi masalah perkotaan (misalnya)- sesuai dengan masalah yang tengah dibicarakan—hanya dengan pendekatan penegakan hukum semata yang selalu diartikan dengan penggusuran, pengusiran atas sejumlah besar masa miskin, memerlukan pendekatan yang berpandangan hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak Ekosob. Dalam hal kebijakan perkotaan, memang telah menetapkan suatu wilayah (Y) peruntukannya untuk keperluan (X), maka pengawasan untuk menjaga dan memelihara wilayah (Y) haruslah terus menerus dilakukan. Risikonya tentu saja pada anggaran yang harus dikeluarkan untuk itu. Artinya melakukan pengawasan dan penertiban atas wilayah Y itu, harus dilakukan secara rutin atau reguler. [9]
Sebagai illustrasi, dapat diambil suatu succes story yang banyak dikutip mass media, ketika Walikota Solo Joko Widodo berhasil memindahkan ratusan pedagang kaki lima dari suatu wilayah, yang dipandang sudah tidak memadai untuk estetika kota, ke tempat lain yang lebih sesuai dan lebih menjanjikan. Pendekatan yang dilakukan oleh Walikota dengan turun sendiri, melakukan pendekatan berulang kali, bahkan sampai puluhan kali, dialog secara tidak resmi, makan dan minum bersama para pedagang tersebut, dan dicatat oleh wartawan paling tidak dilakukan sebanyak 50-an kali, menghasilkan kesadaran dan tekad bersama para pedagang untuk menerimaa rencana pemerintah kota pindah ke lokasi yang baru.[10] Aparat penertiban dalam kasus ini, tentu saja tidak perlu berhadap-hadapan seperti pihak-pihak yang akan berperang, tetapi cukup membantu proses pemindahan mereka saja.
Sebagai penutup dari uraian singkat ini, bahwa penegakan hak asasi manusia khususnya yang berkenaan dengan hak-hak Ekosob, lebih khusus lagi yang melibatkan warga miskin, amat tergantung kebijakan publik yang dirumuskan oleh masing-masing daerah, antara lain dicerminkan dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, serta pemahaman yang komprehensif atas hak asasi manusia yang dipunyai oleh para penyelenggara pemerintahan daerah. Pemahaman yang memadai atas obligasi negara atas hak-hak Ekosob bagi warga miskin, akan merubah paradigma pembangunan kota, apakah akan selalu mengedepankan ketertiban dan keindahan kota, ataukah akan menyelaraskan antara keindahan dengan obligasi negara atas hak-hak Ekosob warga miskin. Khususnya dalam menelaah tindakan-tindakan aparatur penegak ketentraman dan ketertiban umum, maka kalaulah hanya dilihat dari segi mikro, maka penegakan itu tak lebih dari instrumen pelaksanaan kebijakan makro semata. Seperti tadi telah disinggung, dalam kasus banyak negara berkembang, kegagalan negara memenuhi obligasinya atas hak-hak Ekosob akan selalu ditutupi dengan upaya yang sangat legalistis, hanya pendekatan yuridis semata. Memang ada masalah teknis yuridis yang memerlukan telaahan khusus ketika instrumen penegakan ini dilakukan seperti penyitaan harta benda para korban, kekerasan fisik yang repressif dan lain-lain. Adalah yang perlu menjadi perhatian juga adalah materi muatan peraturan daerah yang memungkinkan terjadinya pelanggaran atas hak asasi manusia.

Bandar Senapelan , 16 Juni 2008

Lampiran Artikel berupa guntingan koran :
Guntingan Koran I :
Tugas Gubernur Terpilih : Kemiskinan dan Pengangguran Sudah Menunggu
Biaya pemilihan Kepala Daerah Jawa Tengah tahun 2008 lebih dari Rp 490,2 miliar. Besarnya anggaran ini kerap menjadi pertanyaan banyak orang, Apakah dengan pemilihan gubernur yang beranggaran besar itu rakyat mampu menikmati hasilnya? Anggaran itu dikeluarkan di saat tercatat jumlah penduduk miskin dan pengangguran di provinsi Jateng masih cukup tinggi. Pertanyaan itu patut diajukan mengingat provinsi yang berpenduduk 33,4 juta (2007) itu termasuk daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin serta angka pengangguran tinggi. Seandainya dana pembiayaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jateng sebesar itu dialihkan untuk upah kerja bakti sosial bagi penduduk miskin, tentunya akan menyerap ribuan warga yang kebagian rezeki.
Data-data lain tentang Jawa Tengah :
Pertumbuhan ekonomi Jateng tahun 2007, hanya 5,0 persen, dibawah perkiraan BI yang mematok 5,1 – 6,0 persen. Pertumbuhan penduduk setiap tahun sebesar 1,24 persen. Lambannya pertumbuhan ekonomi juga menyebabkan pendapatan per kapita pada tahun 2007 hanya berkisar Rp 9,72 juta perorang. Juli Maret 2007, penduduk miskin bertambah 16.000 orang di pedesaan, dan 6.500 orang di perkotaan. Jumlah penduduk miskin cenderung turun. Tetapi secara absolut, jumlahnya masih cukup banyak, sebesar 6,6 juta jiwa. Jumlah ini agak turun pasca krisis ekonomi dan moneter 1998-1999. Saat itu jumlah penduduk miskin mencapai 11,1 juta atau 36,70 persen dari jumlah penduduk.
Angka pengangguran sebanyak 1,4 juta jiwa atau 8,1 persen dari total jumlah angkatan kerja sebanyak 17,4 juta jiwa. (Harian Kompas, 13 Juni 2008)

Guntingan Koran II :
Anggaran Keamanan Pemilu Rp 2,4 Triliun
Membengkaknya alokasi anggaran keamananPemili 2009 menjadi Rp 2,4 Triliun dari Rp 1,3 triliun pada aPemilu 2004 tak lepas dari pengalaman selama ini. Kapolri Jenderal Pol Soetanto mengatakan salah satu tahap paling rawan yang harus diantisipasi pihaknya ialah penghitungan suara. Hal ini tercermin dari pengalaman pilkada di berbagai daerah yang terkadang menumbulkan masalah. Apalagi kalau selisih ( suara yang menang, Red.) kecil. Ini rawan. Untuk itu, kewajiban semua petugas termasuk petugas ditempat pemungutan suara (TPS) untuk mewaspadai semua ini,” katanya usai memperingati Ultah ke 62 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK di Jakarta kemarin (17/6). Harian Riau Pos, 18 Juni 2008.

Guntingan Koran III :
Dana Pemilu Masih Diblokir : Sebanyak Rp 4,085 triliun belum cair.
Dana Pemilihan Umum 2009 sebesar Rp 4,085 Triliun atau 61,27 persen dari total pagu anggaran pemilu untuk sementara diblokir. Pemblokiran dilakukan karena Departemen keuangan masih menunggu usulan kegiatan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu. Menurut Sri Mulyani, dari total pagu anggaran dana pemilu sebesar Rp 6,667 triliun, Depkeu telah mencairkan Rp 126,7 miliar atau 1,9persen dari total pagu anggaran pemilu. Sisa dana pemilu yang belum dicairkan Rp 6,54 triliun. Dari sisa anggaran itu sementara ini hanya Rp 2,455 triliun yang dapat dipergunakan untuk kebutuhan persiapan pemilu. Selebihnya Rp 4,085 triliun diblokir.(Harian Kompas, 16 Juni 2008)


















[1] Penulis adalah Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Riau, pensyarah pada Fakultas Hukum UIR dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UIR, Penulis Buku Eksistensi Aliran-Aliran Keagamaan Dalam Islam Ditinjau Dari Pasal-pasal Hak Asasi Manusia UUD 1945 (UIR Press, 2008).
[2] Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia,
[3] Dalam beberapa tahun ini, banyak LSM yang memfokuskan diri pada kajian kebijakan publik khususnya yang terumuskan dalam APBD, antara lain FITRA, ICW, PSHK, sejumlah PUSHAM dan lain-lain. Anggaran dalam perspektif HAM memperoleh kajian utama dan hasil-hasil kajiannya dipublikasikan kepada publik untuk memperoleh pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Selain masalah anggaran, sejumlah peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, harus terus menerus dievaluasi melalui perspektif hak asasi manusia.
[4] Lihat A. Patra Zen dan Andik Hardiyanto, Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Ekosob, Jurnal HAM, Komnas HAM, Volume 4, Tahun 2007, hlm. 23.
[5] Dalam banyak pembangunan di perkotaan, praktek-praktek negara yang menggusur dan mengusir secara paksa, terus menerus dilaksanakan dengan dasar peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk peraturan daerah. Pembuangan secara paksa ribuan becak di kota Jakarta, dapat dilihat dalam kerangka pikiran ini. Coba bandingkan dengan kesibukan pemerintah Jakarta dan Bandung, yang amat aktif mencari wilayah atau daerah untuk dijadikan tempat pembuangan sampah, namun dilain pihak negara begitu mudah untuk melakukan penggusuran dan pengusiran masyarakat miskin.
[6] A. Patra Zen, ibid, hlm. 24
[7] Lihat Pasal 10 dan Pasal 13 Kovenan EKOSOB.
[8] Klasifikasi obligasi negara dalam mengakui (to recognize) bahwa hak ekosob merupakan HAM, sehingga jika ada pelanggaran atasnya maka semestinya negara mengakui semua mekanisme dan konsekwensi yang mesti dtanggung para pelaku pelanggaran hak ekosob, misalnya jika banyak keluarga miskin yang tidak dapat memperoleh akses pelayanan kesehatan, pendidikan, maka pejabat yang berkompeten mesti mempertanggungjwabkannya dalam sistim hukum di Indonesia (yusticiable). Klasifikasi menghormati (to respect) mempunyai makna negara tidak melakukan tindakan yang justru membatasi sebagian atau seleuruhnya hak-hak ekosob masyarakat. Negara tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi baik melalui regulasi, kebijakan, atas hak seseorang atau sekelompok orang untuk membentuk serikat buruh atas pilihannya sendiri. Obligasi negara untuk mempromosikan (to promote) artinya negara haruslah mempromosikan hak-hak Ekosob termasuk dengan pelibatan masyarakat secara aktif. Melindungi (to protect) artinya antara lain bahwa negara wajib untuk melindungi hak-hak Ekosob yakni memastikan adanya legal security of tenure, keamanan hukum kepemilikan tanah. Keluarnya Perpres No. 35 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan Umum, pada dasarnya bertentangan dengan obligasi negara untuk melindungi hak atas tanah karena tidak diatur dengan jelas mekanisme perlindungan bagi seseorang yang tanahnya diambil alih. Lihat A. Patra Zen, ibid, hlm. 27
[9] Dalam banyak kasus dimana perencanaan dan pengawasan tidak dilakukan secara terencana, upaya pengawasan itu terlihat ketika suatu kota akan dikunjungi oleh seorang pejabat negara, akan dikunjungi oleh tim penilai pemberian anugerah A, anugerah B, konfrensi nasional C, festival international D. Kunjungan Presiden RI ke Pekanbaru beberapa waktu yang lalu (2007), memaksa aparat penertiban kota, menertibkan semua pedagang kakilima sepanjang jalan yang dilalui tamu dari bandara sampai ke komplek olahraga di Rumbai, walau hanya untuk sementara waktu saja.
[10] Lihat harian Republika, dan harian Kompas, terbitan Januari 2008, yang secara khusus melaporkan kisah-kisah sang walikota berhadapan dengan pedagang kaki lima.

Sabtu, 04 April 2009

Husnu : Rekanan Keberatan Bisa Gugat ke PTUN

Pekanbaru, MR
Proyek pengadaan formulir untuk keperluan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota se Provinsi Riau Tahun 2009 terus mendapat perhatian serius dari Pakar Hukum Tata Negara UIR, Husnu Abadi, S.H., M.Hum.
Dia menilai jika rekanan ada yang merasa keputusan yang diambil oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, bisa saja melaporkan gugatan melalui proses Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Jadi apabila ada merasa yang keberatan bisa saja melaporkan ke PTUN. Kalau memang ada rekanan yang dirugikan” kata Husnu kepada Media Riau, ketika diminta tanggapan mengenai masalah tersebut, Senin (23/2) di Pekanbaru.
Menurutnya, dalam hal ini PTUN yang berwenang untuk memproses keberatan atas keputusan yang menyangkut dengan keputusan administrasi. Pihak PTUN bisa saja membatalkan keputusan itu kalau keputusan atas pemenang lelang tidak memenuhi prosedur yang telah ditentukan. Oleh sebab itu rekanan yang merasa berkeberatan hendak bisa melalui proses gugatan ke pengadilan tatausaha negara, dengan mermperlihatkan bukti yang otentik,” kata Husnu.
Menurutnya lagi, ke depan agar masalah ini tidak muncul di tengah masyarakat, hendaknya pejabat negara haraus mengikuti prosedur mengenai lelang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Jangan ada persekongkolan dalam penunjukan pemenang lelang.
“Oleh karena itu diharapkan pejabat negara hendaknya jujur dan transparan. Jalankanlah semua prosedur sesuai dengan aturan yang berlaku,” kata Husnu (MR20)

Harian Media Riau, Selasa, 24 Februari 2009, halaman 1.