Jumat, 03 April 2009

MEMBICARAKAN SEORANG IBRAHIM GHAFFAR

Oleh : Husnu Abadi [1]

Dalam kata pengantarnya untuk buku Kembali Dari Dalam Diri, Sastrawan Negara Datuk (Dr.) A. Samad Said, menyatakan bahwa .... dirinya (IG) ternyata seorang yang mudah mesra biarpun mungkin dalam seminit dua kita mengenalnya. Walaupun ternampak pandangannya tetap menilai, tapi cepat juga terbayang ketulusannya. Tentu saja kilatan tabiinya itu adalah bayangan kilas pertama bahawa dia memang mudah meresapkan sesutu peristiwa. Saya kira kesan spontan ini memang penting untuk menilainya sebagai seorang penyair. Kata-katanya sentiasa mudah, frasa dan imejannya juga tidak komplek, Dia merakam sesuatu seada-adanya. Jika memuji, pujiannya langsung, jika mengkritik, kritikannya tulus.

Ibrahim Ghaffar. Penyair yang hendak dibicarakan puisi-puisinya ini dilahirkan di Kampung Bagan Terap, Sabak Bernam, Selangor, tahun 1950. Menjadi yatim piatu sejak kecil. Riwayat pendidikannya adalah Sekolah Umum di Bagan Terap (1956), Madrasah Yasiniah, Bagan Datoh, Perak, Goon Institute Petaling Jaya, Institut Teknologi Mara, Petaling Jaya, Universiti Sain Malaysia (USM- Pulau Penang), Berlin Universiti (Jerman barat), Pacific Western University , Hawaii dan berhasil memperoleh darjah Doktor Falsafah (Ph.D) dalam bidang Sains Politik dalam Pentadbiran Awam (1994). Selain menulis puisi, juga menghasilkan karya ceritera pendek, skrip drama, lukisan dan arca, biografi.
Antologi puisi yang telah dihasilkannya adalah: Duri Di Kaki (1972),Darah dan Aku (1972), Takhta dan Rakyat Satu Manifestasi (1977), Sing Kaya Ngene (1999), Di Bumi Bertuah Ini (2000), Selagi Ombak Mengejar Pantai (2004), Di Laman Anggrek Ini (2004), Gema Membelah Gema (2004), Legasi (2006).
Penghargaan atau anugerah yang telah diterima antara lain Darjah Setia Sultan Sharafudin Indris Sah Negeri Selangor (2004), Darjah Kebesaran Ahli Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah, Negeri Selangor (1996), Ahli Mangku Negara (AMN) Persekutuan (1991), Pingat Jasa Kebaktian (PJK) Negeri Selangor (1991).
Dalam kegiatan kebudayaan, pernah bergiat dalam Ahli Exco Majelis Kebudayaan Negeri Selangor (1993-kini), Naib Pengerusi Majelis Kebudayaan dan Kesenian Daerah Klang (1996-kini), Setiausaha Angkatan Pelukis se Malaysia (APS, 1974-1978). Sehari-hari bekerja sebagai seorang yang berniaga/ berwiraswasta.
Antologi puisi Kembali Dari Dalam Diri, diterbitkan dalam dua bahasa, Melayu dan Mandarin, memuat 77 buah puisi, dengan jumlah halaman 108 berbahasa Melayu dan 125 beraksara Mandarin. Bertindak sebagai penterjemah ke bahasa Mandarin adalah Chew Fong Peng, seorang pensyarah bergelar Ph. D. di Fakulti Pendidikan, Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Dia adalah ahli jawatan kuasa Persatuan Penterjemahan dan Penulisan Kreatif Malaysia (Perspektif), ahli Persatuan Penulis Nasional (PENA), ahli Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia (PKBM), ahli jawatan kuasa Persatuan Penulis Selangor, dan ahli Kemudi.

Kembali Dari Dalam Diri. Bila dilihat dari tahun kelahirannya, penyair ini, Ibrahim Ghaffar, untuk selanjutnya disingkat IG, baru berusia 58 tahun, atau menjelang usia 60 tahun. Sebuah usia yang menunjukkan kematangan. Dalam deretan para penyair Malaysia, masih terdapat sejumlah penyair yang lebih senior dari IG, seperti Kasmani Haji Arif (Johor, 1919), Gharieb Abdul Raouf (1923), SM Salim (Johor, 1923), Zam Ismail (1943),[2] Ahmad Kamal Abdullah, nama pena Kemala ( 1941), Muhamad Haji Saleh (Perak, 1943), Noor SM (Melaka, 1939) [3] ataupun A. Samad Said, Sastrawan Negara, yang memberikan kata pengantar pada buku antologi ini. Rekan penyair yang seangkatan dengan IG atau sesudahnya antara lain Siti Zainon Ismail (Kuala Lumpur, 1949), Zaiton binti Abdullah ( Melaka, 1951)[4], Juma’noh Abd. Bunga (1946) , Ehsan Jamily (1948), Inzura Haji Kosnin (1956), Saadiyah haji Ibrahim (1958). [5]
Dalam uraian singkat ini, hendak dibicarakan yang utama adalah tema-tema puisi dan seberapa saya dapat membanding-bandingkannya dengan penyair di Riau atau di Indonesia.
Sebagaimana umumnya penyair, karya-karya puisinya tentulah merupakan upaya dalam merakamkan segala keadaan yang berlaku di lingkungannya, apakah hal itu yang berkenaan dengan politik, perubahan perilaku, tabiat, akhlaq manusia, seorang tokoh, peristiwa alam yang dahsyat, penyampaian aspirasi, penggambaran keindahan atau hal-hal lainnya.
Dalam bentuk diagram, seorang seniman akan menghasilkan karya-karyanya merupakan interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. UU Hamidy memberikan gambaran dalam bentuk rajah sebagai berikut [6]:


Peristiwa Sentuhan
(Keadaan) --------à Perasaan -----à Renungan
(Emosi) (Pikiran) --------à


--------à Pembayangan (Imajinasi)-----à Sajak (Puisi)





Bila ditelaah tema-tema yang menjadi perhatian IG dalam 77 karya puisinya, maka terlihat amat beragam. Dari dunia dirinya, yang sempit dan kecil, maupun terbang jauh ke sana, melihat dunia yang lebar ini, dari inner space sampai ke outer space. Simbolisasi apa yang dapat difahami, bila IG menempatkan sajak pertamanya dengan sebuah pembicaraan bertajuk Warkah Hang Nadim Kepada Sri Maharaja Parameswara (Sultan Temasek 1236 M), dan sajak ke tujuh puluh tujuh sebagai sajak penutup bertajuk Tsunami : Cari Hikmah Tersembunyi (Dari sedikit ketakutan buat insan).
Kalaulah tema yang diangkat oleh IG dapat disimbolkan dalam dua sajak ini, maka terlihat bahwa sang penyair termasuk yang amat mempedulikan dunia luar, dunia yang makro, dunia outer space. Pengangkatan tema ini, sebetulnya tidaklah lepas dari kepribadian yang dipunyai oleh sang penyair, latar belakang kehidupannya yang berakar pada tradisi Melayu, kemudia lewat mobilitas vertikal melalui pendidikannya, dan pekerjaannya sehari-hari yang bebas berkelana, sang penyair dengan sayapnya yang lebar, sanggup terbang ke berbagai dimensi kehidupan.
Dalam puisi Warkah Hang Nadim, yang ditulisnya di tahun 1999, dan diciptakan atau memperoleh inspirasi, ketika IG bersandar di Bandara Hang Nadim, ia menulis :

Ampun Tuanku
Sembah derhaka mohon diampun

Beras berantah sudah
Tanah tumpah darah punah
Waris tragis ketulan sumpah
Takhta tumpas musnah disanggah

Khabar duka yang patik dengar
Panji daulat tidak lagi berkibar
Sireh layu dipuan; Takhta sudah tidak bertuan
Sultan tidak didaulatkan
raja tidak punya kerajaan
kerabatpun menjadi kebanyakan
waris diusir salasilah terpadam
dan Tumasek sudah tidak bersultan

Sang penyair disini tengah mendeskripsikan sebuah proses yang tengah berlangsung, yang berkenaan masalah kekuasaan, peradaban bahkan mungkin juga sekaligus menyuarakan lagu-lagu tangisan, kemurungan dan kesedihan. Hal ini akan terasa bila dikaitkan dengan kejayaan dan kegelimangan masa lalu, masa kejayaan raja-raja Melayu yang ada di semenanjung ataupun di kawasan Riau. Sang Penyair mempergunakan medium dialog diantara tokoh sejarah (Hang Nadim dan Sri Maharaja Parameswara).
Medium dialog tokoh sejarah memang banyak dipergunakan oleh para penyair, termasuk juga di Indonesia. Misalnya saja Rendra dalam sajak Demi Orang-Orang Rangkasbitung, [7], Taufik Ismail dalam sajak VOC, Jose Rizal, Fatahillah [8]. Selain mempergunakan tokoh sejarah dalam mengekspressikan kegelisahan sang penyair, juga banyak penyair yang mempergunakan tokoh sejarah sebagai obyek penggambarannya. Hal ini antara lain terlihat dari sajak-sajak Ediruslan Pe Amanriza, Penyair Riau, melalui sajak berjudul Raja Ali Haji, Hang Tuah, Sultan Syarif Kasim II, Raja Haji Fisabilillah.[9]
Sang Penyair IG, menulis puisi Warkah Hang Nadim, dengan memperoleh inspirasi di Bandara Hang Nadim. Dalam puisi itu, bait selanjutnya, IG melakukan perenungan ketika ia melihat perobahan kota Batam di masa kini.

Ampun Tuanku
Sembah derhaka mohon diampun

Kamus sejarahpun bersabda
Sebelum ini: kita telah kehilangan lima istana
Istana Pengkalan Kenanga
Istana Keraton
Istana Damnah
Istana Robat
Istana 44 Bilik
Dan kini benteng terakhir berakhir
Istana Kampung Gelam pun tenggelam

Titahkan kepada waris yang masih tinggal
Anak cucu yang tidak lagi dikenal
Sumpah aniaya sampai disini
Akhirnya merempat
Kerana dosa Tuanku kepada MELAYU
Sejarah panjang: 763 tahun lalu
Zalimnya “ Beraja di mata bersultan di hati”
Tragis nafiri gemala tabuh
Cendekiawan yang Tuanku bunuh
Bersemadi di pulau jauh ...
Tiba-tiba hari ini :

Datok Seri Mamanda Menteri
Kepada raja Tanah Melayu berkunjung datang ke mari
Selepas merobak jemaah menteri
Strategi memperkukuh negeri
Tersentak Batam yang semakin karam
Dalam neon gemerlapan
Menghimpun warisan ARTISI
Dari negeri yang Tuanku buka 745 tahun lalu
Ke mana haluan sedang dituju?
Jangan nanti nakhoda karam dihulu

Ampun Tuanku

Hang Nadim, tokoh sejarah masa lalu, dipaksa hadir di masa moden, oleh sang Penyair, melalui lorong waktunya (time tunnel), untuk menyaksikan kekinian. Sang Penyair, memang berhak dalam wilayah kreatifitasnya, untuk menjadi Creator (Pencipta), apa saja kemauan penyair, maka ..... terjadilah !, termasuk memaksakan Hang Nadim dan Parameswara untuk bertanggung jawab atas nasib yang menimpa Batam. Inilah kehebatan dari sang penyair.
Perlu juga disimak, bagaimana respon penyair negeri jiran, Malaysia, terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di Indonesia. Kalau dalam alinea terakhir dari puisi IG di atas, bagaimana ekspressi kekhawatiran dan kegalauannya terhadap sebuah tamaddun di Batam, maka terlihat juga nyanyian ini juga disuarakan oleh sejumlah penyair Riau. Lihat saja bagaimana mereka bersuara !

Aku menyaksikan
Sebuah kota
Muncul seperti di sunglap
Dari kampung-kampung nelayan
Cucu cucuku yang lelaki
Ada yang jadi kuli
.......
Cucu-cucuku yang perempuan
Bedak dan lipstick tebal sekali
Roknya mini
Makin lama makin mini
Tapi yang paling aku ngeri
Kata-kata yang diucapkan keras-keras
Tanpa malu tanpa silu
Campur sedikit bahasa Inggris
Seperti
Short-time
Long-time
All-night
sixty-nine
tuan-tuan yang terhormat
beritahulah aku
apa artinya
semua itu ?

(Idrus Tintin, Batam, [10])

Datang ke Batam
Pada setiap Jumat petang
Wajah kota seakan tenggelam
Dalam silau cahaya
Lalu lalang ribuan kendaraan
Dan para penumpang feri yang berjejal
Di Sekupang
.........
Di hotel-hotel
Di motel-motel
Di penginapan dan rumah tumpangan
Di lokalisasi
Anak-anak sudah berdandan
Menyemprotkan minyak wangi murahan
Ke ketiak
Seputar leher
Baju dan tangan
Lalu mejeng di lobby
Atau di mulut gang
Atau di pinggir jalan
Atau di kamar rumah sewa
Menunggu telepon panggilan
Menjelang tengah malam
Semuanya dapat bagian
Ribuan pasang bergumul
Obat minuman
Hingga pagi tiba
.........
Datang ke Batam
Semuanya bisa direguk di sini
Kecuali zapin, joget dan dindin
Kecuali dondang sayang
Yang mudah menenggelamkan zaman
Inilah Batam tuan
Tempat Hang Nadim
Mencetak batu bata
Dan menjualnya ke Melaka
Batam
Aku tak lagi rindu dan dendam

(Ediruslan Pe Amanriza, Batam [11])


Percakapan Sang Penyair IG soal wilayah kekuasaan, kerajaan lainnya dapat dijumpai dalam sajak-sajaknya yang lain seperti :

- Klang; Sejarah Merentasi Alaf
- Pertanyaan Kah Kepada Kemerdekaan
- Detik: Kini Menjadi 20 Tahun (Tahniah PM Dr Mahathir Mohammad)
- Bukan Retorik Merdeka
- Datangnya Ogos Kekasih
- Akhirnya Keangkuhan
- September 2001
- 11 September II
- Telah bangun di antara Kita
- Seorang Lelaki Yang Berani II (dedikasi buat Dr MM)
- Episod Kegelimangan Dari Perikatan ke Barisan (Sempena 50 tahun BN)
- Pengukir di Garisan Takdir (Tahniah Pemuda Perkasa Misi ke Afghanistan)
- Palestina Merawan Kemanusiaan Kita)
- Syukur pada Ilaahi, Kita Masih Bersama Lagi (buat Dr MM)
- Arah, Api membakar ladang Pribadi (Warkah buat PM)
- Merdeka Sebuah Layang-layang
- Sumpah perjuangan ini II (buat Wira Selangor)
- Sekata Kita Haramkan Perang
- SMS dari medan perang
- Sejarah penubuhan UiTM dan melayu Terancam
- Menjunjung Kasih (Mengadap DYMM Sultan Selangor)
- Setajam Pena Fikir Seorang Mahathir
- Sumpah Hululabalang Menjunjung Perjuangan
- Salah Rindu tanahariku :Perjuangan Kita Belum Selesai
- Demikian : Demokrasi Telah Mati
- Tekad Diterat Amanat
- Seketika Aku Dipintu Masalalu
- Perang Telah Terjadi
- Pengebom
- Kembara anak perang
- Dalam Ilusi
- Siapa-Siapa
- Melayuku I (Aceh)
- Melayuku II ((Aceh)
- Melayuku III
- Melayuku IV
- Tanah Iraq: Kubur Kedaulatan


Dilihat dari tema-tema ini, maka terlihat kepedulian dan keberpihakan IG: ketika ia berhadapan kekuasaan dalam negeri, maka ada sikap apresiasi dan penghargaan, disamping pengharapan. Namun ketika ia melihat kejadian sebuah negeri adi kuasa yang melakukan penaklukan (agresi, invasi) maka IG memperlihatkan keberpihakan kepada mereka yang dizalimi. Kepedihan dan pemberontakan dengan setianya ia tuliskan dan ia suarakan. Bila disederhanakan dua ketegori ini, untuk wilayah dalam kerajaan, sang penyair menempatkan diri sebagai kelompok masyarakat yang banyak bersyukur dan senantiasa memberikan tahniah. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi, mengingat kerajaan telah berjasa dalam memenuhi sejumlah hak-hak dasar masyarakatnya seperti kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain. Jumlah puisi yang demikian ini, terlihat sebagai jenis puisi-puisi yang mayoriti atau lebih banyak dibandingkan dengan puisi-puisi yang sifatnya perenungan atau kontemplasi. [12]
Untuk membicarakan puisi jenis terakhir ini, terlihat ketika sang penyair menulis yang berkenaan dengan religiusitas dan kejiwaan.

Perjalanan panjang ini
Kembali dari dalam diri
Meramahi tinggimu Santubung
Yang sepi bersembunyi di balik pelangi
Dalam setia, kami menanti kehadiran yang dimungkiri
Rindu semakin lemas, tumpas tak terlunas
Bias melampias hela nafas yang tuntas
Dendam terbenam dalam, di bumi Kenyalang
Lebur dalam debur benak yang menghempas

Justeru telus sejujurnya
Terucap ungkapan penuh syahdu
Dari dalam derita bangsa
Masih mencari, cebisan peta tanah ayah terluka
Antara mimpi dan daun waktu yang kian gugur

(Kembali Dari Dalam Diri)

Kering kemarau hamparan ladang dosa
Umat semakin sesat bagai disihir amanat
Akibat khianat pada tuhan dan rasul
Bai’at menjadi jalan jauhariyang berliku-liku
Padah pada janji diri, yang kering dipungkiri:
Inna sholati, waanu suki
Waama khiayaya waama matti
Lillahi rabiil alamin
Sekarangpun trajis tanpa ijab dan syafaat

Alirkan cair sukma, bagai air di sungai ikhtikaf penuh redha
Taqarrub sujud...mohon restu keampunan
Keredaan adalah limpah hujan dari langit
Yang mencurahkan rahmat
Memadam api dosa yang marak di laman hayat
Kembara kembali pada perut hakikat

(Muhasabah dalam Kerinduan Ramadhan)

Pembicaraan tentang penyair IG memang mengasyikkan, suatu saat boleh juga kita mengingat penyair Indonesia lainnya seperti Sapardi Djoko Damono, Gunawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Dinullah Rayes, atau seperti Syaukani Al Karim, Fakhrunnas MA Jabbar dengan segala persamaan dan perbedaannya.
Gaya Penulisan yang dipergunakan oleh IG terlihat dengan setia diikuitinya sejak awal hingga akhir puisi-puisinya yaitu naratif. Sebetulnya ada juga penyair Malaysia yang mempergunakan gaya pengucapan yang berbeda seperti yang diperlihatkan oleh beberapaa penyair seperti Kasmani Haji Arif, Ehsan Jamily, Juma’nah Abd. Bunga. Berikut ini contoh gaya pengucapan itu yang mereka punyai, yang sedikit berbeda dengan penyair IG. Kasmani mencoba bergaya pengucapan menghemat kalimat dengan kata-kata yang pendek, dua tiga kata setiap baris. Sedangkan Ehsan Jamily dengan gaya mengulang-ulang pola kalimat, yang dalam puisi ini dengan mempergunakan kata .... bagaimana. Penyair Juma’nah Abd. Bunga mempergunakan gaya bahasa yang mengulang-ulang kata-kata yang sama, untuk menimbulkan efek tertentu atau mungkin juga semacam penggaris bawahan atas makna tertentu.

Kata kawan
Di ombak
Kita berserak
Di badai
Kita bersirai
Taufan teduh
Kita lalu

Waktu susah
Kita berkuak
Pada zaman sempit
Kita bercerai
Pada saat berbahagia
Kita bertemu

Kasmani Haji Arif, Ajakan

Kau katakan kau rindukan aku
Kaurindukan puisi-puisiku
Kaurindukan suara lembutku
Kau rindukan senyum manisku
Kaurindukan renung mataku
Kaurindukan gurau sendaku
Segalagalanya kaurindu
Lalu katanya padamu
Benarkah itu ?

Juma’nah Abd. Bunga, Perindu Yang Malu

Bagaimana bunga nak kembang
asyik diusik sikumbang jalang
bagaimana ular tak datang
semak tebal dipenuhi ilalang
bagaimana ayam tak disambar helang
reban terbiar tak berkandang
bagaimana rumah tak tumbang
pasaknya longgar tiangnya goyang
bagaimana air sungai nak tenang
sampah sarap banyak terbuang

Ehsan Jamily, Bagaimana

Walaupun demikian, penyair IG terlihat juga mencari gaya pengucapan yang sedikit berbeda dalam beberapa sajaknya, dengan mencoba berhemat-hemat dalam penggunaan kata-katanya. Lihatnya sajak berikut ini :

Seorang tua
Bergelar ayah
Usia hamir seabad
Lebih dulu makan garam
Memuncungkan bubirnya
Menunjuk ke arah laut lepas begelora
Seraya berkata
Anakku
Lihatlah dengan mata hatimu
.......
Orang muda
Belia remaja
Berusia setahun jagung
Darah setampuk pinang
Mintaku mendengar yang dikhabarkan
Bagai wasiat
persis menghayati
ayahanda


Percobaan penyair IG untuk mencoba menghemat-hemat pemakaian kata, tampaknya tidak selamanya dapat berjaya. Hal ini boleh jadi karena karakter pribadi yang dipunyai oleh IG adalah kesetiaannya mempergunakan bahasa kalimat yang naratif. Bagaimanapun gaya bahasa adalah karakter yang sangat pribadi, yang dimiliki oleh setiap penyair. Namun tidak tertutup kemungkinan, bilamana seorang penyair mencoba untuk mempergunakan gaya pengucapan yang tidak satu macam, boleh jadi dua atau tiga macam. Satu saat ia mengucapkannya dengan gaya bahasa narasi, di lain masa dengan gaya bahasa sajak-sajak pendek dan hemat kata. Namun, tentu saja metafora yang dibangun olah seorang penyair dalam penciptaan puisinya, tetaplah harus kuat dan menyentuh. Hal ini untuk mengindari diri agar puisi tak kehilangan rasa estetika nya. Dalam hal puisi telah kehilangan rasa estetikanya maka sebetulnya ruh sebagai seorang seniman telah terbang dari jasadnya. Boleh jadi yang muncul dalam karya-karyanya adalah seorang politisi, seorang khatib ataupun seorang demonstran.

Cintapun lebur bersama lumpur
Langit calar menguja kabus kabur
Kaget tersihir mentera takbur
Kesima, ribuan korban di pintu kubur
Dan langkah kita terhenti di hujung jalur
............
Rindu pun hanyut ditelan alam
Bersama pulau hilang tenggelam
Bersama naskhah sejarah silam
Bersama siang di ufuk malam
Dan laut rindu kita semakin dalam

(Tsunami, Cari Hikmah Tersembunyi)

Bumi Senapelan, 12 Juli 2008


[1] Makalah ini disajikan dalam pertemuan sastra & budaya di Pekanbaru, ditaja oleh Yayasan Mitra, 12 Juli 2008, Gedung Dang Merdu, Pekanbaru. Penulis adalah pensyarah pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, penulis buku kumpulan puisi Lautan Kabut (UIR Press,1998) , Lautan Melaka (UIR Press, 2002), Lautan Zikir (UIR Press, 2004), kumpulan esei Ketika Riau Tak Mungkin Melupakanmu (UIR Press, 2004), buku Eksistensi Aliran Keagamaan Dalam Islam ( UIR Press, 2008). Kini menjabat Ketua BKKI (Badan Kerjasama Kesenian Indonesia) Provinsi Riau masa bakti 2005-2010, Wakil Ketua Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) Wilayah Riau (2004-2008).
[2] Lihat Matlob dan Mus Onn, editor, Di Sebalik Segugus Nama, Kumpulan Puisi, Dewan bahasa dan Pustaka, Kualalumpur, 2004.
[3] Lihat Antologi Puisi ASEAN, Apresiasi Puncak Penyair ASEAN I, 1983, Yayasan Seniman Muda Bali, hlm. 50
[4] ibid
[5] Lihat Matlob, op.cit.
[6] Lihat UU Hamidy, Husnu Abadi, Penyair Tiga Lautan, Esei Budaya, Harian Riau Pos, 2 dan 9 Maret2008
[7] Lihat Rendra, Orang-Orang Rangkasbitung, Bentang, Yogyakarta, 1993, hlm. 52
[8] Lihat Taufiq Ismail, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Seratus Puisi Taufiq Ismail, Ananda, 2005.
[9] Lihat Dasri Al Mubari dan Aries Abeba, Kesusasteraan dan Kepenyairan Riau, Bappeda Riau dan Yayasan Sepadan Tamaddun Pekanbaru, 2002. hlm. 370, 372,386, 387,
[10] Idrus Tintin, Jelajah Cakrawala, Seratus Lima Belas Sajak Idrus Tintin, Gurindam Duabelas, Pekanbaru, 2003.
[11] Lihat Dasri Al Mubari, op. Cit.
[12] Bandingkan dengan puisi-puisi Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, LSP, 1980, yang mayoriti bersuara oposisi terhadap kekuasaan pemerintahan yang tengah berlangsung tanpa menyisakan ruang untuk sedikit memberikan apresiasi padanya. Banyak pengamat yang menyatakan bahwa puisi-puisi Rendra ini sebagai puisi pamflet, sebagaimana yang juga diakui oleh Rendra, dalam sajak pertamanya, Aku Tulis Pamflet Ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar