Rabu, 01 April 2009

PENYEDERHANAAN PARTAI & PARLIAMENT THRESHOLD

Oleh : Husnu Abadi
Ketua Pusat Studi Konstitusi Indonesia (PSKI) Universitas Islam Riau


Menyambut dilakukannya penyempurnaan undang-undang kepartaian, kini muncul pemikiran yang berkeinginan untuk mengevaluasi peraturan yang ada . Selain berkeinginan mengurangi frekuensi pemilu, juga menyangkut sistem kepartaian dengan tetap menjaga kebebasan namun ke arah penyederhanaan jumlah partai.
Sesuatu yang berbeda dengan masa orde baru, masa kini adalah masa penghormatan atas kebebasan berserikat, khususnya dalam berpartai politik. Mekanisme pendirian partai politik telah dirumuskan yang memudahkan siapa saja untuk mendirikan sebuah partai. Demikian juga masalah pendaftaran sebuah partai pada pemerintah sebagai badan hukum. Untuk mengikuti sebuah pemilihan umum, Komisi Pemilihan Umum diberi kewenangan untuk menentukan partai-partai peserta pemilihan umum.
Dari ratusan partai yang berdiri dan terdaftar menjelang pemilu Tahun 1999, KPU menetapkan 48 partai peserta pemilihan umum. Sedangkan pada Tahun 2004, KPU menetapkan 24 partai peserta pemilu. Suatu partai dapat mengikuti Pemilu 2004, dapat melalui salah satu dari dua ketegoti yaitu pertama partai tersebut telah berhasil memperoleh sekurang-kurangnya 2 % dari kursi DPR (550 kursi) atau 11 kursi pada pemilu 1999. Dalam kategori ini maka terdapat hanya 6 partai saja yang memenuhi electoral threshold itu, yaitu : PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB dan karenanya dapat langsung menjadi peserta pemilu Tahun 2004.
Kategori kedua adalah partai baru yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan oleh KPU. Peserta pemilu 1999 yang gagal mencapai batas ET seperti Partai Keadilan, dapat mengikuti pemilu 2004 asalkan ia bergabung dengan partai baru atau partai yang lolos ET atau partai lainnya sehingga memenuhi syarat ET.
Terdapat 18 partai baru , yang mengikuti Pemilu 2004, ditambah dengan 6 partai yang lolos ET. Bagaimana dengan pemilu 2009 ? Bilamana secara konsisten persyaratan pemilu dipergunakan undang-undang yang ada, maka dari 6 partai peserta pemilu 1999, terdapat hanya 5 partai yang mampu memenuhi syarat ET yang telah berubah menjadi 3 % dari jumlah kursi DPR ( 550 kursi) atau 17 kursi, yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN , sedangkan PBB terdegradasi.
Dari 18 partai baru pada peserta pemilu 2004, terdapat 2 partai yang berhasil mencapai ET, yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Sedangkan 16 partai lainnya gagal menembus batas ET yang hanya 3 % itu. Dengan demikian dari 24 peserta pemilu 2004, 7 partai dipastikan berhasil meneruskan posisinya dan memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu 2009 sedangkan 17 partai lainnya terpaksa gulung tikar atau harus bermataforfosa menjadi partai baru. Berapakah jumlah partai baru yang akan menjadi peserta pemilu 2009 ? Akan semakin banyakkah ?
Tampaknya akan semakin banyak, sebab sampai 25 September 2006, telah terdaftar 27 partai baru di Departemen Hukum dan HAM (Riau Pos, 26/9). Hal ini akan bertambah dengan partai-partai yang tidak diikutkan oleh KPU pada pemilu 2004 yang lalu, yang jumlahnya mencapai puluhan partai. Jumlah partai peserta pemilu yang hanya berdasarkan persyaratan administrasi tak mungkin dikurangi bila mempergunakan model ET seperti dipraktekkan selama ini. Mengapa ? Karena perjuangan melalui partai untuk duduk dalam kursi legislatif tidak ada istilah gagal total. Artinya kalau gagal memperoleh kursi legislatif DPRRI, masih ada peluang di DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten atau DPRD Kota. Dari 17 partai yang tersisih sebagai peserta pemilu 2009, tidak ada yang gagal seratus pesen di perebutan kursi itu. Apalagi hasil pemilu 2004 itu, masih dapat dipergunakan untuk bermain di arena pertandingan pilkada. Gagal di legislatif tetapi bisa saja berjaya di Pilkada, seperti ditunjukkan pada kasus Pilkada Banyuwangi.
Wacana tentang penyederhanaan partai dan pengurangan jumlah peserta pemilu terus bergulir dan berikut ini beberapa diantaranya.
Penyederhanaan jumlah partai dan jumlah peserta pemilu merupakan suatu keharusan, bila dikaitkan dengan harmonisasi sistem pemerintahan presidensial (Sudrsono, Dirjenkesbangpol, Kompas, 28/9). Partai Amanat Nasional minta agar Electoral Threshold dinaikkan menjadi 10 % (Soetrisno Bachir, Republika, 21/9). Partai Persatuan Daerah menolak upaya-upaya pengkerdilan partai politik dan pembungkaman demokrasi melalui wacana menaikkan electoral threshold untuk menyederhanakan jumlah partai politik (Oesman Sapta, Ketua PPD, Republika, 21/9). Upaya pengurangan jumlah partai peserta pemilu 2009 dengan peningkatan ET hingga 5 %, dinilai memberatkan partai-partai kecil. Ini kejam dan jangan dipaksakan seperti zaman Soeharto (Riyass Rasyid, Berita Makasar, 12/9). Sistem ambang batas perolehan kursi (ET) sebagai syarat partai ikut pemilu harus dilaksanakan secara konsisten. Selama ini ambang batas perolehan kursi itu memang diberlakukan, tetapi parpol yang tidak lolos dapat memodifikasi dan membentuk partai baru (Akbar Tanjung, Kompas, 22/9). Perampingan partai dalam arti jumlah partai menjadi lebih sedikit akan terjadi dengan sendirinya secara alamiah dengan acuan electoral threshold. Dengan acuan ET 3 % di parlemen, hanya 6 partai yang bisa ikut pemilu. Masalahnya, untuk aturan ini, ada wilayah abu-abu yang membuat parpol berubah nama misalnya bulan bintang menjadi bintang bulan (Jusuf Kalla, Kompas, 9/9). Angka ambang batas pemilihan pada 2009, hendaknya dinaikkan menjadi 5 %. Selain itu syarat pendirian partai diperketat, misalnya partai harus punya kepengurusan di seluruh provinsi. (Muhaimin Iskandar, Kompas, 9/9). Pada masa mendatang sistem kepartian di Indonesia masih bisa memakai multi partai, tetapi tidak banyak, karena itu perlu penyederhanaan partai secara alamiah. Salah satunya dengan menambah ET dari 3 % menjadi 5 % (Kompas 8/9). Persyaratan pendirian partai dan syarat mengikuti pemilu yang diterapkan tahun 2004 masih layak dipertahankan. Multi partai sederhana tidak bisa serta merta diartikan pembatasan parpol. Apalagi kita tak pernah tahu seberapa banyak yang dibutuhkan (Bursah Zarnubi, Kompas, 8/9). PAN mengusulkan kepada pemerintah pusat agar jumlah peserta pemilu 2009 dikurangi sehingga masyarakat tidak bingung dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Jumlah kontestan pemilu dibatasi hanya 12 partai saja yang benar-benar berbobot dan berkualitas dari segi visi, misi maupun organisasinya (Sutrisno Bachir, Riau Pos, 4/9).
Menurut hemat kami, selama penafsiran ET hanya untuk pemilu yang akan datang serta dibolehkannya partai-partai baru muncul walau dengan syarat yang lebih berat, tidak akan mengakibatkan penurunan jumlah peserta pemilu secara alamiah. Sebaiknya tafsiran akan makna ET itu perlu diperbaiki sehingga maknanya seperti yang diterapkan di Jerman atau Polandia. Tafsiran ini menyebabkan istilah electoral threshold diartikan dengan parliament threshold ( ambang batas untuk duduk di parlemen)
Seandainya angka ET tetap 3 %, tetapi diartikan sebagai syarat masuk ke pintu parlemen, maka mau tak mau setiap partai yang akan ikut pemilihan umum akan berhitung dulu, apakah ia akan tetap ikut pemilu atau tidak. Sebab kalau ikut pemilu dan hasilnya dibawah 3 %, maka partai itu tidak berhak duduk di parlemen. Partai-partai yang relatif kecil pasti akan berpikir untuk bergabung dengan partai kecil lainnya yang memungkinkan tercapainya angka 3 % itu. Untuk kasus Indonesia, angka 3 % itu setara dengan 17 kursi ( 3 % x 550 = 16,5 kursi dan dibulatkan menjadi 17 ). Bila dilakukan simulasi untuk pemilu 2004, maka kursi DPR RI hanya terdiri dari wakil-wakil rakyat dari Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PKS dan Partai Demokrat saja. Lalu bagimana dengan nasib PBB, PBR dan partai kecil lainnya ? Mereka tak berhak menempatkan wakilnya di DPRRI atau dengan kata lain suara yang mereka peroleh yang bila dikumpulkan bisa saja mencapai kumulatif 10 % akan hilang percuma .
Bagaimana nasib partai-partai di DPR Daerah ? Menurut hemat saya peraturannya harus sama saja, atau lebih besar dari ET nasional. Artinya bila di suatu daerah provinsi suatu partai tak mencapai 3 % kursi DPRD, maka ia tak dapat menempatkan wakil-wakilnya di lembaga itu (untuk simulasi di DPR D Provinsi Riau, 3 % x 55 kursi = 1,65 kursi atau 2 kursi).
Pengaturan selanjutnya adalah hanya partai-partai yang mempunyai wakil di DPRD sajalah yang berhak mengajukan calon kepala daerah dan bukan partai-partai yang berada di luar parlemen daerah.
Akhirul kalam, dengan pembatasan yang wajar dan lebih berat ini, dapat diprediksi bahwa jumlah partai yang akan mengikuti pemilu akan menurun demikian juga jumlah partai yang akan duduk di parlemen juga menjadi lebih ramping.

* Harian Riau Pos, Hari Senin, 2 Oktober 2006.

1 komentar: