Rabu, 01 April 2009

PERINGATAN SEABAD MOHAMMAD NATSIR
SEBUAH CATATAN TENTANG PRRI & M. NATSIR : ANTARA PEMBERONTAKAN DAN PERGOLAKAN
OLEH : HUSNU ABADI [1]

Pendahuluan. Panitia Seminar Peringatan Refleksi Seabad Mohammad Natsir, Universitas Islam Riau, meminta saya untuk mengemukakan sebuah makalah sehubungan dengan tajuk ini, dengan sebuah keterangan yang ditulis oleh panitia, untuk meluruskan terminonologi dari fakta sejarah, apakah peristiwa PRRI tersebut sebuah upaya pemberontakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau hanya sebuah pergolakan menuntut ditegakkannya keadilan dalam hubungan Pusat dan Daerah dalam koridor NKRI. Makalah yang saya tulis ini, merupakan pendapat yang lahir dari amatan atas beberapa fakta sejarah, yang dapat dan mampu saya peroleh dan baca.

Mohammad Natsir. Beliau lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908, putera dari seorang pegawai kecil. Pendidikan formalnya adalah AMS, sekolah menengah atas, sekolah guru di Bandung, belajar agama pada seorang tokoh Islam A. Hassan di Bandung. Pengetahuannya yang luas diperoleh dari kegiatan membaca dan menulis banyak buku. Sebelum kemerdekaan, menulis dalam majalah Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat dengan memakai nama pena A. Moechlis. Riwayat hidupnya antara lain tercatat sebagai berikut : Pemimpin Sekolah Pendidikan Islam di Bandung (1932-1945); Ketua Organisasi Islam Persis; Ketua Jong Islamieten Bond (1928-1932); Anggota Dewan Kota Bandung (1940-1942); Kepala Biro Pendidikan Kota Bandung (1942-1945); Anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946); Ketua Umum PB Masjumi (1952-1958); Menteri Penerangan RI (1946-1947; 1948-1949); Perdana Menteri (1950-1951); anggota DPRRI (1955) dan anggota Konstituante (1955-1959); Deputi Perdana Menteri PRRI (Februari 1958); Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (sejak 1966); Wakil Presiden World Moslem Congres, Wakil Ketua Rabithah Alam Islami. Penghargaan yang pernah diperoleh adalah menerima penghargaan Anugerah International Raja Faisal, Arab Saudi, bidang pengkhidmatan tahun 1980, gelar Doctor Honoris Causa dari University Malay, Kuala Lumpur, Tahun 1984. Karya-karya intelektualnya antara lain : Cultuur Islam (1930) yang ditulis bersama Prof. CP Wolf Kemal Schoemaker; Kom tot Gebed (1931) yang kemudian diterjemahkan menjadi Marilah Shalat; Mohammad als Proveet (1931); Gouden Regels uit den Quran (1932); de Islamietische Vrouw en haar Recht (1933); Dalam bahasa Inggris bukunya tebir di Ithaca, NY Cornell South East Asia Program, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs (1954): Islam dan Kristen di Indonesia (1969); World Islam Festifal dalam Perspektif Sejarah (1976); Kebudayaan Islam Dalam Perspektif Sejarah (1988); [2]

Pemberontakan di Indonesia. Dalam sejarah bangsa Indonesia, terdapat beberapa kali lahirnya pemberontakan bersenjata yang selalu berhadap-hadapan dengan kekuasaan pemerintahan pusat dan kekuatan militer pusat. Masing-masing pemberontakan itu, mempunyai alasan masing-masing seperti pembangunan yang tersentralisir di satu pulau atau satu provinsi sahaja, tidak terdistribusinya kekuasaan secara lebih merata antara pusat dan daerah, dominannya satu etnis dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembagian hasil-hasil sumber daya alam yang tidak mencerminkan antara daerah penghasil dan daerah yang menikmati penghasilan, adanya infiltrasi idiologi komunisme dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dominannya partai tersebut, pemberontakan yang bermula dari ketidak puasan penunjukan pejabat-pejabat militer, yang ingin menegakkan negara baru berdasarkan idiologi agama tertentu, dan lain-lain. Untuk memberikan penjelasan secara garis besar, berikut ini beberapa pemberontakan yang dapat dicatat:
Pemberontakan PKI/Muso di Madiun, 18 September 1948; Pimpinan PKI Muso, memproklamirkan berdirinya Republik Soviet Indonesia, di Madiun. Pemberontakan ini berhasil menguasai kota Madiun. Latar belakangnya adalah Kabinet Hatta melakukan program rasionalisasi di kalangan militer dan birokrasi, untuk menanggulangi inflasi, menolak Persetujuan Renville (yang dibuat oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin, tokoh PKI). Pada tanggal 30 September 1948, Madiun dapat direbut kembali oleh TNI, dan dua bulan kemudian operasi penumpasan dinyatakan selesai. Sebelum diadakan pengadilan atas tokoh-tokoh PKI dan militer yang terlibat, Belanda sudah menyerang kembali Indonesia (19 Desember 1948), sehingga banyak tokoh-tokoh pemberontakan ini yang lolos. Namun kedudukan PKI dalam KNIP dibekukan, sekalipun tidak ada pernyataan yang tegas tentang pembubaran PKI. Pada pemilu 1955, PKI berhasil menempati partai terbesar ke empat, dibawah kepemimpinan DN Aidit, dan pada tahun 1963, DN Aidit menerima penghargaan bintang Mahaputra Kelas III[3]
Pemberontakan G30S/PKI, 1 Oktober 1965: Pemberontakan ini ditandai dengan pembunuhan atas jenderal TNI AD, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno dalam pembentukan kabinet baru. Kelanjutannya adalah pembubaran PKI dan ormas-ormas pendukungnya, pembersihan atas semua pendukung-pendukung PKI. MPRS menetapkan larangan penyebaran ajaran komunisme, mencabut penghargaan bintang Mahaputra Kelas III yang telah diberikan pada DN Aidit. [4]
Gerakan Aceh Merdeka: perlawanan dan pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan pemerintah pusat akibat eksploitasi sumber daya alam yang tersentralisir, kekuasaan yang sentralistis, tidak memberikan keistimewaan pada Aceh. Setelah peristiwa Tsunami, tahun 2004, lahirlah perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005, undang-undang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam, pemberlakukan syariat Islam, berdirinya partai lokal. Pemerintah RI memberikan amnesti, dan sejumlah anggota GAM dapat diserap dalam berbagai organisasi pemerintahan di Aceh, sehingga terjadi proses integrasi/rekonsiliasi. Tokoh GAM Irwandi Yusuf, terpilih secara demokratis sebagai gubernur melalui pemilihan gubernur Aceh.[5]
Organisasi Papua Merdeka (OPM): walaupun ada kemiripan dengan di provinsi Aceh, dalam hal penggunaan pemberontakan senjata dan munculnya UU Otonomi Khusus, namun tokoh-tokoh Papua Merdeka dalam dunia politik, tidak bernasib seperti di Aceh. Tidak ada semacam perjanjian Helsinki, tidak ada pengakuan keberadaan partai lokal ataupun calon independen. Pendukung kemerdekaan Papua masih ada, walau secara militer sudah sangat kecil. Pemerintah RI selalu waspada kalau ada warga yang mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Darul Islam dibawah pimpinan SM Kartosoewirjo, di Jawa Barat: pemberontakan bersenjata ini termasuk yang paling lama yaitu sejak proklamasi NII, 7 Agustus 1949 sampai dengan 4 Juni 1962, dengan tertangkapnya sang tokoh. Setelah diadili oleh pengadilan, September 1962 sang tokoh dieksekusi. Kanun Asasi NII atau semacam UUD dideklarasikan pada 27 Agustus 1948. Gagasan tentang pendirian NII, dinilai tetap ada di sejumlah kalangan, dimana sejumlah aktifis NII masuk dalam struktur kemasyarakatan Indonesia. [6] Pemerintah RI memberikan amnesti kepada para pengikut DI/NII .[7]
Darul Islam di Sulawesi Selatan: Pemberontakan di Sulawesi Selatan, menyatakan merupakan bagian dari DI/NII SM Kartosuwiryo, pemberontakan ini berakhir saat tertembaknya sang tokoh, seorang perwira militer bernama Kahar Muzakkar, di tahun 1965 di daerah Luwu. [8]
Darul Islam dibawah Daud Beureuh di Aceh: serangkaian dengan proklamasi berdirinya DI/NII oleh SM Kartosoewirjo, di Aceh pun menyatakan hal serupa, pada 21 September 1953, dengan menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari NII ;[9] Dengan pendekatan yang dilakukan ABRI akhirnya sang tokoh kembali ke NKRI, 9 Mei 1962. [10]
Republik Maluku Selatan (RMS), Tahun 1949-1950: Tokohnya adalah Mr. Dr. Christiaan Robert Steven Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT). Rangkaian pemisahan diri di daerah-daerah lain, memberikan inspirasi ke wilayah Maluku. Gerakan RMS praktis dapat dipatahkan ketika ABRI berhasil merebut kota Ambon 3 November 1950, walau banyak anggota militer RMS melancarkan perang gerilya di Pulau Seram. [11] Sekarang ini, pemerintah masih mencurigai adanya gerakan yang mendukung gagasan RMS, seperti selalu waspada pengibaran bendera RMS di wilayah Ambon.
PRRI/Permesta, Februari 1958.
Setelah adanya pemilihan umum Tahun 1955, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menghadapi ketidakpuasan daerah terutama di Sumatera dan Sulawesi, akibat tidak meratanya pembangunan, terutama yang menjadi penghasil devisa. Sikap oposisi ditunjukkan oleh partai-partai termasuk oleh Masjumi dan PSI. Di daerah-daerah terbentuk dewan-dewan daerah, seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat (20 Desember 1956, yang didukung oleh Letkol Achmad Husein, Danrem Sumteng ), Dewan Gajah di Medan (didukung Kolonel Maludin Simbolon, Panglima TT I, 22 Desember 1956), Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Manguni di Menado ( didukung oleh Letnan Kolonel Vientje Sumual, 18 Februari 1957), Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan. Pada tanggal 14 Maret 1957, Kabinet Ali II jatuh, Presiden RI menyatakan negara dalam keadaan perang (Staat van Oorlog en Beleg= SOB). KSAD Mayjen AH Nasution setelah rapat panglima TT se Indonesia pada 15-20 Maret 1957, menyatakan bahwa memahami aspirasi dan tuntutan daerah tetapi tidak menyetujui cara-cara yang dipakai. Untuk membujuk Dewan Banteng, dikirimlah Kolonel Dahlan Djambek (ternyata kemudian membelot dan ikut Dewan Banteng), Zainal Abidin Ahmad (anggota DPR dari partai Masjumi, asal Sumteng) dan Menteri Pertanian Eni Karim.
Ternyata misi perdamaian ini tidak berhasil mencapai kata kesepakatan. Langkah selanjutnya adalah diadakan Musyawarah Nasional (Munas) 10-14 September 1957, Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) , November 1957.
Dengan dalih pemerintah pusat tidak memperhatikan pembangunan daerah, 10 Februari 1958, ketua Dewan Banteng Ahmad Husein, mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat, agar Kabinet Juanda mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam. Pemerintah menjawab ultimatum ini dengan memecat A. Huesein, Simbolon, Zulkifli Lubis, Dahlan Djambek. Akhirnya 15 Februari 1957, A. Huesein memperoklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia.
Setelah uluran tangan pemerintah ditolak oleh Dewan-dewan daerah, operasi militer dilancarkan, dan dimulai dengan merebut Pekanbaru (14 Maret 1958), Bukittinggi (4 Mei 1958), Padang (17 April 1958).
Setelah kekuatan militer PRRI dilumpuhkan secara militer, diutuslah Kolonel Surjosumpeno, Tumbelaka untuk menemui pimpinan PRRI/Permesta. Hasilnya, April 1961, Achmad Huesein, mengirimkan surat pernyataan akan menyerahkan diri ke NKRI. Surat ini akhirnya dipenuhi pada tanggal 29 Mei 1961 dimana A. Huesein diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Simbolon, Zulkifli Lubis, Nawawi, Syarif Usman, Burhanudin harahap, Moh. Natsir, Syafrudin Prawiranegara. [12] Salah seorang menteri PRRI adalah Sumitro Djojohadikusumo, lahir 1917, Menteri Perdagangan dan Industri Kabinet Natsir, 1950-1951. [13]
Sebagai kelanjutan dari kembalinya tokoh-tokoh tersebut, maka pada tanggal 1 Juli 1961, Pejabat Presiden RI, Ir. H. Djuanda mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 375 Tahun 1961 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi kepada Para Pengikut Gerakan-Gerakan DI/TII di daerah Atjeh, Gerakan-gerakan RPI/PRRI di daerah Sumatera Utara, Daerah Tapanulis, Daerah Sumatera Tengah dan daerah Sumatera Selatan, yang memenuhi panggilan pemerintah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. [14]

Pertama : memberi amnesti dan abolisi kepada para Pengikut Gerakan-Gerakan DI/TII di daerah Atjeh, Gerakan-gerakan RPI/PRRI di daerah Sumatera Utara, Daerah Tapanuli, Daerah Sumatera Tengah dan daerah Sumatera Selatan, yang memenuhi panggilan pemerintah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Kedua : (1) dengan memberikan amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang termaksud dalam ketentuan Pertama dihapuskan; (2) dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang-orang yang termaksud dalam ketentuan Pertama ditiadakan.

Penjara Lima Tahun. Setelah kembali ke Jakarta 29 Mei 1961, Moh. Natsir ditahan selama 5 tahun oleh pemerintahan Soekarno, namun bukan karena PRRI, tapi karena dipandang membahayakan politik Soekarno. Tidak pernah jelas alasan keterlibatan Natsir dalam PRRI, yang menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri PRRI. Perlu dicatat, bahwa pada tahun 1958 itu, Natsir masih berstatus anggota DPR dan anggota Konstituante, dimasa di saat itu, perdebatan tentang konstitusi, hak asasi manusia, bahkan tentang dasar negara tengah berlangsung di Bandung. Pembebasan atas Natsir dan kawan-kawannya, baru berlangsung ketika Orde Lama tumbang dan digantikan oleh Orde Baru, dibawah kepemimpinan Soeharto.
Menurut kajian Hendra Gunawan, terdapat situasi yang mendahului mengapa M. Natsir pergi ke Sumatera Barat pada tahun 1958. Situasi itu adalah adanya Peristiwa Cikini, 30 November 1957, percobaan pembunuhan atas Presiden Soekarno di perguruan Cikini. Para tersangka pembunuhan, Jusuf Ismail dan kawan-kawan, banyak yang berasal dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dianggap dekat dengan Masjumi. Soekarno menuduh Masjumi bekerjasama dengan CIA. Khawatir atas keselamatannya, M. Natsir dan keluarga pergi ke Sumatera Barat.

Ada tiga alasan mengapa Natsir bergabung ke dalam PRRI yaitu : (1) Mencegah agar gerakan kedaerahan tidak menjadi gerakan separatis (mencegah pembentukan negara Sumatera); (2) Menolak keterlibatan PKI dalam kabinet ; (3) Melanjutkan dialog dengan pemerintah pusat: [15]

Garis perjuangan M. Natsir yang pro negara kesatuan, sebetulnya telah ditunjukkan jauh hari sebelumnya seperti yang ditunjukkan ketika Natsir mempelopori pernyataan Mosi Integral di Parlemen RIS ketika masa berlakunya Republik Indonesia Serikat. Mosi ini (dinyatakan pada 3 April 1950) yang mengantarkan Indonesia meninggalkan susunan negara yang serikat/ federal dan kembali ke negara kesatuan, seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini di tahun 1945. Mosi Integral ini isinya berupa seruan kepada pemerintah agar negara-negara boneka buatan Belanda yang tergabung dalam RIS segera dibubarkan karena rakyat sudah tidak menghendakinya lagi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, yaitu empat bulan saja, pemerintah RI segera menyetujui usulan Natsir. Tanggal 17 Agustus 1950 RIS dibabarkan dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik. Adanya Mosi Integral ini, juga mengartikan bahwa Natsir tidak mengakui keberadaan negara tandingan, baik yang didirikan oleh Kartosuwirjo (NII) maupun yang didirikan oleh Smoukil (RMS). [16] Sikap mendukung prinsip negara kesatuan yang berbentuk republik ini, secara konsisten dan istiqamah ditunjukkan dengan model penyelesaian yang mengutamakan perundingan, yang harus dilakukan pemerintah RI terhadap daerah-daerah yang melakukan pemberontakan, seperti ketika adanya proklamasi DI/NII baik di Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan ataupun pemberontakan lainnya.

(1) Adanya kewajiban dalam agama Islam untuk mendamaikan sesama umat Islam yang berselisih; (2) Terdapatnya persamaan tujuan antara Masyumi dan DI/TII yang sama-sama ingin mendirikan Islam yang berbentuk republik; (3) Masyumi mempunyai keinginan tersirat untuk mengajak para pengikut DI/TII Aceh agar memilih Masyumi dalam pemilu 1955; [17]

Pidato-pidato yang diucapkan Mohammad Natsir didepan forum konstituante, yang mengusulkan agar Islam dapat dijadikan dasar negara mengandung arti bahwa memperjuangkan suatu gagasan kenegaraan haruslah tetap mempergunakan forum yang disediakan dalam sebuah negara demokrasi, atau dengan istilah lain adalah harus bersifat parlementer dan tidak mempergunakan cara-cara extra parlementer.[18] Dalam pidato ini, Mohammad Natsir bersama beberapa tokoh Masyumi, NU, PSII, mengajukan pidato yang sama dalam hal mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Mereka itu adalah Ahjak Sosrosugondo (NU), M. Syafii Wirakusumah (PSII), Kasman Singodimejo (Masyumi) , Achmad Zaini (NU), Zainal (PSII), Zainal Abidn Ahmad (Masyumi), Saifuddin Zuhri (NU), M. Rusyad Nurdin (Masyumi).

Tadi telah disebutkan bahwa pergolakan yang muncul di daerah-daerah disebabkan oleh ketidakpuasan di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam menyelenggarakan negara yang : sentralistis, ketidak adilan pembangunan khususnya di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alamnya, tunutan otonomi yang lebih luas, sehingga daerah dapat mengelola sumber daya alamnya sendiri. Dalam alam demokrasi sebetulnya tuntutan seperti ini lazim adanya. Namun alam demokrasi menjadi terluka ketika tuntutan itu berubah atau merubah diri menjadi perlawanan bersenjata yang bersamaan dengan pernyataan pendirian pemerintahan tersendiri.
Perlawanan itu sendiri mempunyai akibat yang bermacam-macam: pertama dikalahkan atau ditaklukkan; kedua adalah tidak berhasil dikalahkan; ketiga mengadakan perdamaian; keempat adanya pengampunan :
Diantara sejumlah pergolakan atau pemberontakan seperti yang kami kemukakan di atas dapat dilihat dan dapat dikategorikan seperti itu.
Skema Pemberontakan dan Respon Negara Terhadap Pelaku/Partai/ Anggota

No. Nama Pemberontakan- Respon terhadap Partai/ Pelaku; Respon terhadap Tokoh/anggota
1.PKI/Muso di Madiun--Pembekuan Partai di KNIP; Tidak ada pembubaran partai;
Partai dapat ikut dalam Pemilu 1955: Muso ditembak mati dalam operasi militer (1948): Anggota tetap bebas dan tidak ada proses peradilan; DN Aidit memperoleh bintang Mahaputera Kelas III (1964)
2. G30S/PKI; Pembubaran PKI & pernyataan sbg. Partai terlarang;Pelarangan Penyebaran ajaran Komunisme; Ditembak mati, dilokalisir di pulau Buru; sebagian melalui proses peradilan; dilarang berpolitik; dilarang menduduki jabatan negeri;
3. DI/TII/NII;Disergap, ditembak, diadili; Diberikan amnesti dan abolisi;
4. RMS; Diserbu, diadili; Tidak ada amnesti/abolisi;
5. OPM; Operasi Militer; Tidak ada amnesti/abolisi; Otonomi Khusus Papua
6. GAM; Operasi Militer; Perjanjian Helsinki, UU Otonomi Khusus, Tokoh GAM menjadi gubernur melalui proses demokratis
7. PRRI/Permesta; Operasi Militer;Perwira militer sebagai penggerak ;Partai Masyumi/PSI dibubarkan oleh Soekarno; Diberikan amnesti/abolisi; Dr. Sumitro Djojohadikusumo . diangkat menjadi menteri oleh Soeharto;Beberapa perwira dimanfaatkan rezim pemenang, Kol. Zulkifli Lubis, Kol. Barlian (Palembang) ;


Militer- Sipil. Hal yang menarik pergolakan di berbagai daerah antara tahun 1950 – 1960 adalah dominannya perwira militer yang masih aktif dan sedang mempunyai jabatan resmi, seperti panglima militer. Modus operandinya adalah menyatakan daerah dalam keadaan darurat perang, selanjutnya kekuasaan dibawah kendali militer dan pemerintahan sipil menjadi sub ordinatnya. Hal ini juga berlaku dalam gerakan PRRI. Oleh karenanya, dapat ditarik kesimpulan bahwa militer lebih dominan sedangkan tokoh sipil berperanan sekunder. Hal ini seperti digambarkan oleh Zulkifli Lubis [19], yang menyatakan bahwa ...

pertemuan di Sungai Dareh hanya dihadiri oleh kalangan tentara, politisi tidak ikut. Mereka ada disitu, tapi di ruang pertemuan. Setelah ada kesepakatan di kalangan militerbaru pertemuan dengan kaum politisi, antara lain Pak Natsir,Pak Prawiranegara, Pak Burhanudin Harahap. Pak Sumitro Djojohadikusumo waktu itu belum ada.
Hal yang sedikit berbeda, dikatakan oleh Mohamad Natsir [20], seperti yang disampaikannya kepada Agus Basri .....
pada suatu ketika, kami bertiga –saya, Syafrudin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap—saling bertemu. Dua minggu kami menimbang-nimbang kemungkinan mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Siapa yang punya gagasan lebih dulu ? Ya sama-samalah. PRRI itu dibicarakan bersama wakil komandan-komandan. Kami datang betul-betul dengan niat untuk mencari penyelesaian. Mereka, dipimpin oleh Dahlan Djambek, kan datang kesana. Sebelumnya, saya sudah menulis surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo supaya diambil tindakan yang perlu untuk menghadapi masalah itu. Pada waktu itu komandan-komandan militer sudah menguasai propinsi-propinsi. Ajaklah mereka berunding, mereka dipanggil ke pusat atau kirim orang untuk menanyakan duduk perkaranya. Jadi sebenarnya itu tidak meletus begitu saja.

Yang menarik dari peristiwa ini adalah adanya tindakan penguasa militer di sejumlah daerah yang mengambil alih kekuasaan sipil sehingga berada di bawah militer, pernyataan atau deklarasi PRRI, dan kemudian gerakan ini belum sempat meneguhkan dirinya sebagai suatu pemerintahan, telah ditaklukkan melalui operasi militer oleh pemerintah pusat, dan dilanjutkan dengan proses integrasi
Terhadap beberapa tokoh militer dan sipil, negara memanfaatkannya sesuai dengan keperluan negara, seperti diangkat menjadi menteri, menjadi perwira militer kembali dengan tugas tertentu dan seterusnya.
Pendapat pemerintahan orde baru sampai pemerintahan sekarang menyatakan bahwa bagaimanapun PRRI adalah sebuah pemberontakan. Tentu saja agak berbeda bilamana gerakan ini tidak membawa simbol-simbol yang mencerminkan adanya pemerintahan di dalam pemerintahan atau membawa simbol-simbol negara yang mencerminkan berdirinya suatu negara dalam suatu negara.
Hanya saja respon negara, terutama masa orde baru dan orde sesudahnya berbeda dengan respon negara terhadap pemberontakan G30S/PKI. Terhadap pemberontakan G30S/PKI, respon negara sampai saat ini adalah larangan atas penyebaran ajaran komunisme/Marxisme/Leninisme serta pelarangan terhadap PKI. Khusus pada kasus pembubaran partai Masyumi dan PSI yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada Tahun 1960, dan dilanjutkan oleh Presiden Soeharto, melalui kebijakan 2 partai dan satu Golkar, akhirnya dianulir di masa reformasi, yang memberikan kebebasan pada publik untuk mendirikan partai politik, termasuk bila ingin mendirikan kembali partai Masyumi ataupun PSI.
Dalam dunia politik, perbedaan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang beroposisi, pihak yang memegang kekuasaan dan pihak yang memberontak, dalam banyak hal sangat tipis sekali. Hal ini dibuktikan dalam banyak kisah perjalanan bangsa-bangsa. Pihak pemberontak Maois di Nepal, yang melakukan perlawanan terhadap rezim kerajaan, terakhir terhadap Raja Gyarendra, akhirnya dapat memaksakan pemilihan umum. Akibatnya rezim Maois memperoleh kemenangan yang menyebabkan parlemen berada dalam kekuasaan mayoritas rezim Maois. Parlemen Nephal akhirnya mendeklarasikan berakhirnya bentuk negara kerajaan dan merubahnya menjadi sebuah republik.
Di Indonesia juga demikian. Mereka yang oleh rezim orde baru dianggap anti Pancasila, dan anti pembangunan bahkan seringkali ditambah dengan tuduhan menjual kedaulatan ke negeri barat, setelah masa orde baru habis, berhasil menduduki beragam jabatan dari jabatan presiden, menteri, pimpinan parlemen dan lain-lain. Hal ini juga seperti terlihat antara lain pada kasus Megawati Soekarnoputeri, AM Fatwa.
Saya jadi ingat, ketika Prawoto Mangunkusumo meninggal dunia, 25 Juli 1970, Mohamad Roem memberikan sambutan dukanya dengan menyatakan bahwa tidak setiap pahlawan, perlu diimakamkan di taman pahlawan, dan tidak setiap orang yang dimakamkan di taman pahlawan, betul-betul dia adalah seorang pahlawan. Biarlah masyarakat saja yang memakamkan sang pahlawan dalam hati sanubarinya. [21]
Penghargaan rakyat atas diri Mohammad Natsir ternyata cukup luas, antara lain dengan terus berkembangnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Mohamad Natsir. Mungkin suatu saat di masa depan akan berdiri sebuah universiti, penamaan sebuah gedung pertemuan, nama sebuah jalan yang teduh dan asri, nama sebuah bandara, pendirian sebuah museum perjuangan, perpustakaan international yang lengkap.
Respon negara sampai saat ini atas gagasan dan oposisi PRRI tampaknya banyak yang telah dicoba untuk dipenuhi, seperti otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilarangnya penyebaran paham komunisme, bahkan lebih jauh lagi dipersilahkannya kepada kekuatan politik untuk membuat regulasi yang bersumberkan ajaran agama Islam (Qanun di Aceh, perda yang bernuansa syariat islam, undang-undang yang pro pada kepentingan umat Islam atau sesuai dengan ajaran Islam, dan lain-lain ).
Oleh karena itu, bagaimanapun perjalanan sejarah bangsa ini, perlu juga menyatakan apresiasi pada bapak-bapak/ kaum pendahulunya, yang sejak dini telah mengingatkan negeri ini, agar memperhatikan hal-hal di atas.
Dengan demikian, termaksud didalamnya, negeri ini dan masyarakat negeri ini, sangat patut dan sangat beradab, bilamana memberikan penghargaan dan penghormatan kepada salah seorang tokohnya, Mohammad Natsir. Seminar ini pun dimaksudkan untuk itu, untuk memberikan tahniah, penghormatan dan penghargaan atas jasa-jasa dan amal salehnya, kepada bangsa ini, kepada rakyat negeri ini, kepada umat negeri ini.

Kesimpulan
Dari uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Pergolakan di daerah-daerah, merupakan pencerminan dari ketidak puasan daerah terhadap kebijakan pusat yang sentralistis;
Pergolakan di daerah-daerah yang dipelopori oleh tokoh-tokoh militer aktif yang melibatkan oleh tokoh-tokoh sipil;
Pergolakan daerah ini ditaklukkan operasi militer namun dilanjutkan secara damai melalui upaya penyerahan diri ke NKRI disertai pemberian amnesti dan abolisi;
Dengan adanya amnesti dan abolisi, menciptakan proses integrasi; dan dengan demikian segala kesalahan masa lalu telah diampuni oleh negara;
Keterlibatan tokoh-tokoh sipil dalam gerakan PRRI, belum terlihat jelas sebab-sebabnya, peranan yang telah dimainkan dan tujuannya.
Respon negara berbeda-beda atas substansi yang dituntut oleh PRRI dan terakhir negara mengadopsi apa yang dituntut itu : otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilarangnya PKI dan penyebaran komunisme

Bandar Senapelan/Kampus UIR, 23 Juni 2008


Tentang Penulis

Husnu Abadi adalah dosen tetap PNS Depdikbud Dpk Universitas Islam Riau, dosen pada Fakultas Hukum UIR Program Sarjana dan Program Pascasarjana , Dekan Fakultas Hukum UIR (1997-2000), Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UIR (2001-2005), Ketua Lembaga Penelitian UIR (2005-2009), Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UIR (2005-2010), Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara Komisariat Riau (2008-2012); Ketua Persatuan Dosen Perguruan Tinggi Swasta (PDPTS) Provinsi Riau (2003-2008); Ketua APTISI Riau (2004-2008 ; 2008-2012), Ketua Badan Kerjasama Kesenian Indonesia (BKKI) Provinsi Riau (2005-2010);
Lulusan Program Magister Ilmu Hukum Tatanegara UNPAD (1996), kini masih studi program doktor di Fakulti Undang-Undang dan Kebijakan Publik Universitsi Utara Malaysia (UUM) Sintok, Kedah, Malaysia. Kegiatan lainnya di jajaran lembaga legislatif adalah Staf Ahli di DPRD Kota Pekanbaru (2008), DPRD Kota Dumai (2007-2008), DPRD Provinsi Riau (2007-2008), Staf Ahli Dinas Kependudukan dan Transmigrasi (2007-2008); Staf Konsultan Walikota Pekanbaru (2003-2006); Panitia Seleksi Anggota KPU Dumai (2008);
Buku-buku yang telah ditulis adalah : Mencari Format Otonomi Khusus Buat Riau (2003); Pemikiran Kodifikasi Hukum Administrasi Negara (2004); Dari Plagiat ke Contempt of Court (2005); Intervensi Negara terhadap Agama (bersama Jazim Hamidy, 2001); Ketika Riau Tak Mungkin Melupakanmu (2004); Eksistensi Aliran-aliran Agama dalam Islam menurut UUD 1945 (2008):


DAFTAR PUSTAKA

Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia SM Kartosoewiryo, Darul Falah, 1999,

AW Pratiknya, penyunting, M.Natsir : Pesan Perjuangan Seorang Bapak, DDII & Lab. Dakwah, Jakarta, 1989.

Barbara Sillars Harvey, Permesta Pemberontakan Setengah Hati, Grafiti Pers, 1984.

Cornelis Van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, Grafiti Pers, Jakarta, 1983.

Gunawan Mohammad, dkk, Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984, Grafiti Pers, Jakarta, 1984;

Hendra Gunawan, M. Natsir & Darul Islam; Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958.

Irfan S. Awwas, Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo, Wihdah Press, Yogyakarta, 1999.

Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, Jilid I, 1977.

Muchsin Lubis, dkk, MEMOAR,Senarai Kiprah Sejarah, Diangkat dari Majalah Tempo, Buku Kedua, Grafitipers,1993

Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, Sinar Harapan, 1984.

Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975, hlm. 58.

Wilopo, Kata Pengantar, Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Penerbit Sekretariat Konstituante , Kata Pengantar Mr. Wilopo, Jilid 1, Jakarta, 1958,

Pustaka Firdaus, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Pustaka Firdaus, 1996, hlm. 179.

TAP MPRS No. XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan Bintang Mahaputra Kelas 3 dari DN Aidit;

TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh wilayah negara RI bagi PKI, Larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006.

---------------------------------

[1] Makalah ini dipersiapkan untuk sebuah acara seminar bertajuk Peringatan Refleksi Seabad Muhammad Natsir, Mengungkap Fakta Sejarah Dibalik Peristiwa PRRI, diadakan oleh Panitia Seminar Peringatan Refleksi Seabad Mohammad Natsir, Universitas Islam Riau, 25 Juni 2008, di Auditorium Suman HS, Universitas Islam Riau, Penulis adalah Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia (UIR), Dosen Fakultas Hukum UIR Program Sarjana dan Program Pasca Sarjana, Penulis buku Eksistensi Aliran-Aliran Agama dalam Islam, Meneurut Pasal 29 UUD 1945 (UIR Press, 2008).
[2] Lihat Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984, Grafiti Pers, Jakarta, 1984; AW Pratiknya, penyunting, M.Natsir : Pesan Perjuangan Seorang Bapak, DDII & Lab. Dakwah, Jakarta, 1989.

[3] Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975, hlm. 58.
[4] Lihat TAP MPRS No. XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan Bintang Mahaputra Kelas 3 dari DN Aidit; lihat TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh wilayah negara RI bagi PKI, Larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.
[5] Lihat UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006.
[6] Irfan S. Awwas, Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo, Wihdah Press, Yogyakarta, 1999, hlm. v
[7] C. Van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, Grafiti Pers, Jakarta, 1983, hlm. ix . Lihat juga Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, Sinar Harapan, 1984, hlm. 82 Dalam buku ini, ditulis Proklamasi NII tanggal 9 Agustus 1949.
[8] Nugroho Notosusanto, ibid, hlm.83
[9] Ibid, hlm. 163. Lihat juga Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia SM Kartosoewiryo, Darul Falah, 1999, hlm. 175.
[10] Nugroho Notosusanto, ibid, hlm. 83.
[11] Ibid, hlm. 81
[12] Lihat Nugroho Notosusanto, ibid, hlm. 83-86.

[13] Lihat Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1983-1984, Grafitipers, 1984, hlm. 175-176. Sumitro muncul ke dunia politik, ketika pemikirannya yang cemerlang pada KMB 1949 dengan perkataannya bahwa bukannya Indonesia yang berutang kepada Belanda, tetapi Belanda lah yang berhutang kepada Indonesia. Pada Tahun 1957, dipanggil oleh penguasa militer , untuk diperiksa 3 kali, lalu pergi ke Sumatera dan bergabung dengan PRRI, sesudah itu hidup dalam pengasingan di luar negeri. Dalam kabinet Pembangunan I Orde Baru, duduk sebagai menteri perdagangan, Kabinet Pembangunan II sebagai Menteri Riset. Dengan demikian Sumitro tidak termasuk tokoh yang ikut menyerahkan diri bersama A. Hoesein.
[14] Lihat Hendra Gunawan, M. Natsir & Darul Islam; Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958. halaman 132-133
[15] Ibid, hlm. 28, yang mengutip dari Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Pustaka Firdaus, 1996, hlm. 179.
[16] Mosi Integral ini, juga ditandatangani oleh anggota parlemen RIS lainnya yaitu Subadio Sasrosatomo, Hamid Algadri, Sakirman, K. Werdojo, AM Tambunan, Ngadiman, Harjosubroto, B. Sahetapy Engel, Cokronegoro, Moch, Tauhid, Amelz, Sirajuddin Abbas, semuanya mewakili seluruh fraksi-fraksi di parlemen. Hendra Gunawan, ibid
, hlm. 127.
[17] Ibid, hlm. 37

[18] Lihat Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante, Penerbit tidak tetera , Kata Pengantar Mr. Wilopo, Jilid 1, Jakarta, 1958,
[19] Muchsin Lubis, dkk, MEMOAR,Senarai Kiprah Sejarah, Diangkat dari Majalah Tempo, Buku Kedua, Grafitipers,1993, hlm.69.
[20] Ibid, hlm. 100
[21] Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, Jilid I, 1977, hlm. 257

Tidak ada komentar:

Posting Komentar