Jumat, 03 April 2009

RESENSI BUKU LAUTAN ZIKIR

Nama Buku Lautan Zikir, Kumpulan Puisi ; Penulis Husnu Abadi ; Penerbit UIR Press ; Cetakan I, Desember 2004 ; Tebal viii + 62 halaman ; Penulis Resensi M. Badri.

Kalau sebelumnya Husnu Abadi lebih dikenal sebagai “Penyair Dua Lautan”, kini entah apa lagi sebutan yang akan diberikan untuk penyair Riau yang tetap produktif di usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Buku kumpulan puisi Lautan Zikir yang baru saja diterbitkan ini merupakan buku kumpulan puisi tunggal Husnu Abadi yang ketiga, setelah sebelumnya menerbitkan Lautan Kabut (1998) dan Lautan Melaka (2002). Hanya saja puisi-puisi yang terdapat dalam Lautan Zikir (mungkin) terlihat lebih religius dari dua buku sebelumnya. Apalagi judul yang digunakan sepertinya memperlihatkan kesadaran religiusitas dalam narasi hidup yang belakangan ini tertanam dalam puisi-puisinya.
Membaca Lautan Zikir kita seakan melintasi gugusan imajinasi yang membentang dari Jembatan Siak hingga Masjid Nabawi, setelah sebelumnya singgah di Twin Tower Kuala Lumpur. Karena memang, sebagaimana ditulis UU Hamidy, puisi-puisi Husnu Abadi merupakan puisi pengembaraan yang menceritakan pengalaman. Kemudian catatan pengembaraan itu bermetamorfosis menjadi sebuah lautan kata-kata yang didalamnya terdapat butir-butir aforisme.
Aroma zikir yang kental dilukiskan Husnu Abadi terdapat dalam puisi “Ya Gadis Itu Tetap Berzikir” (hal. 8). Dalam puisi itu Husnu Abadi menceritakan sebuah perjalanan spiritual yang dilukiskan dengan kekuatan konstruksi batin yang terapung dalam gelombang realitas kehidupan. Idiom zikir yang menunjukkan nuansa religius terasa kuat pengaruhnya dengan beberapa kali menuliskan kalimat “Ya Allah Ya Rahman Ya Allah Ya Rahim” dalam setiap bait puisi itu. Sebuah penekanan yang membuat pembacanya hanyut dalam ritme zikir puisi karena dapat meresap dalam sanubari penikmatnya.
Seperti umumnya penyair yang begitu sensitif melihat fenomena zaman, Husnu Abadi juga terlihat bergairah mengeksplorasi realitas sosial di tengah masyarakat tertindas. Apalagi bila realitas itu menciptakan luka dan air mata di negeri sendiri (Tambusai). Setidaknya hal itu terdapat dalam puisi “Doa Seorang Anak Yatim yang Rumahnya Dibakar Gerombolan Orang Tak Dikenal” yang isinya: Tuhanku/Bila abad ini/Kau bersedia menurunkan Nabi// Jangan engkau turunkan juga/Di Palestina/Atau di Fallujah/Atau di Afghanistan/Atau di Kashmir// Tapi turunkanlah Ia/Di dusun kami/Di pemukiman kami// Yang di setiap saat/Senantiasa siap dibakar/Senantiasa siap dikubur/Oleh tangan-tangan orang asing/Seperti firaun di masa lalu/Seperti qarun dalam masa silam// Tuhanku/Datangkanlah Ia di dusun kami.
Penyair yang mengusung puisi religius sekaligus terlibat dalam realitas sosial memang bukan hal aneh. Sebagaimana dikemukakan pemerhati sastra S Prasetyo Utomo, bahwa para penyair religius itu telah bangkit dari gugusan tanda-tanda zaman, dan bangkit dari luka peradaban. Dan religiusitas menjadi ruh yang mengakhiri daya cipta para penyair, sehingga teks-teks puisi tak kehilangan empatinya pada nasib tragis manusia. Seperti halnya Husnu Abadi, sensitifitasnya terhadap nasib tragis manusia juga mengembara hingga ke negeri jiran, salah satunya menghadirkan sosok Nirmala Bonat dalam puisi “Nirmala”. Kegetiran Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia itu tertuang dalam kalimat: Nirmala, gadis bersahaja yang panjang kisahnya/ Nirmala, gadis bersahaja yang berani mengembara/ Nirmala, gadis bersahaja yang ingin memuliakan mamanya/ Nirmala, gadis bersahaja yang berkelna dalam derita// Nirmala, lukamu telah lama dan semakin terluka...
Meskipun buku ini lebih tebal, sayangnya Husnu Abadi hanya membukukan 17 puisinya yang sebagian merupakan puisi-puisi panjang. Sebagai pelengkap agar terlihat ada gambar di antara teks, Husnu Abadi menyertakan dokumentasi aktivitas sastranya serta tiga judul esai sastra yang ditulis oleh UU Hamidy, Korrie Layun Rampan, dan Slamet Rahardjo Rais. Esai tersebut berisi kritik dan ulasan puisi Husnu Abadi sejak awal proses kreatifnya. Salah satu esai yang mendukung jalur kepenyairannya adalah yang ditulis UU Hamidy. Dalam buku ini esais menyebutkan, “Husnu menulis sajak dengan nada kesufian. Maksudnya, sajak-sajak Husnu telah diungkapkan melalui renungan terhadap jalan hidup manusia pada hamparan kekuasaan Allah Rabul Alamin. Husnu mengeluh bagaikan serunai, bagaimana nasib manusia yang telah diserahkan Tuhan pada dirinya sendiri, namun banyak yang terkapar kandas oleh kezaliman manusia lainnya.”
Esai tersebut sebenarnya memberikan ulasan terhadap kumpulan puisi Matahari Malam Matahari Siang yang ditulis bersama Fakhrunnas MA Jabbar pada awal tahun 1980-an, tetapi hingga kini gaya kepenulisan Husnu Abadi tidak banyak berubah. Yang berbeda mungkin dalam pemilihan tema, kalau dulu lebih menyukai “Matahari” sebagai bagian dari judul buku tetapi kini dia lebih dekat dengan “Lautan”. Apakah setelah Lautan Zikir ini Husnu Abadi akan menciptakan beberapa “Lautan” lagi? ***

M Badri , Peminat dan Penikmat Sastra, Tinggal di Pekanbaru dan bergiat sebagai, Ketua Senapelan Writers Association (SWA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar