Rabu, 01 April 2009

ESEI BUDAYA :GEDUNG SUMAN HS

oleh Husnu Abadi

Sejak tahun 1950-an, atau mungkin lebih lama dari itu, ada seorang yang hobby sastra, memulai hobbynya. Hobby yang ia lakukan adalah mengumpulkan, menggunting, mengelem, menempel, menumpuknya secara teratur semua karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Indonesia. Rumahnya yang sederhana, sedikit demi sedikit berisi dan bertumpuk dengan tumpukan kertas yang memuat karya sastra yang nantinya menjadi amat berarti bagi bangsa ini. Baginya, karya sastra adalah cerminan kekayaan ruhani, kekayaan budaya, ekspressi masyarakatnya dalam satu zaman tertentu. Membaca jiwa suatu bangsa dapat dengan membaca karya sastranya.
Tokoh yang kita bicarakan ini adalah HB Jassin, pendiri Pusat Dokumentasi sastra HB Jassin. Rumah yang semakin lama semakin kecil itu, akibat hobby yang begitu ia cintai, akhirnya dapat juga diakhiri, ketika seorang Gubernur Ali Sadikin, yang begitu mencintai rakyatnya, termasuk kebudayaannya, membantu HB Jassin dengan memberikan sebuah bangunan di komplek Taman Ismail Marzuki untuk melestarikan pusat dokumentasi itu.
Menjaga dan merawat kekayaan budaya bangsa, dalam hal ini karya-karya sastra, memang tidak setiap pemimpin bangsa ini, sanggup memahaminuya dan menyadarinya. Apalagi untuk merawatnya memerlukan pembeayaan yang cukup besar dan terus menerus. Nantinya, untuk dedikasi yang amat sangat ini, serta jasanya bagi pemeliharaan kekayaan kahazanah budaya bangsa, dihargai oleh Universitas Indonesia, dengan memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada HB Jassin.
Dalam sebuah diskussi yang diadakan Pengurus BKKI Riau, 6 April 2008, di gedung Aptisi Bandar Serai, Budayawan Al Azhar memberikan penjelasan perkembangan baru dari ambisi yang begitu besar dari negara tetangga untuk menjadikan dirinya sumber dan pusat kebudayaan Melayu. Setelah mereka cukup sukses membangun bangsa secara ekonomi, atau mereka telah menjadi OKB, Orang Kaya Baru, problem yang ingin mereka pecahkan adalah identitas budaya. Menjadikan Malaysia sebagai sebuah pusat kebudayaan Melayu, tentulah harus ditunjukkan sedemikian rupa, sebarapa jauh mereka mempunyai batu pijakan yang dapat menopangnya. Perburuan naskah Melayu kuno, dan naskah-naskah lainnya, digencarkan sebagai sebuah strategi pembangunan kebudayaan. Oleh karena itu, mereka mempunyai ambisi agar museum yang mereka punyai, atau perpustakaan yang mereka punyai, haruslah terlengkap, tersempurna, tercanggih, termodern. Apapun caranya, tujuan itu harus mereka kejar dan wujudkan.
Beberapa waktu yang akan datang, Gedung Suman HS, sebuah gedung perpustakaan daerah yang megah dan menawan akan diresmikan. Gedung ini akan melengkapi ambisi Riau mewujudkan mimpi-mimpinya, misi dan visinya, menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. Tentu saja ambisi ini wajar di mata hamba negeri ini. Apalagi kemampuan dan kekuataan daerah ini, ditopang dengan anggaran yang melebihi rata-rata daerah disekitarnya. Adalah wajar bila masyarakat akademis, kaum terpelajar, serta para sastrawan, menuntut lebih banyak lagi kepada pengelola gedung ini, untuk memikirkan dengan lebih serius masalah doumentasi naskah-naskah Melayu, naskah sastrawan Riau, buku-buku karya para kaum terpelajar di wilayah ini.
Jangan berhenti dengan pujian yang mengatakan bahwa gedung ini hebat dan wah, Riau provinsi yang paling memberikan perhatian pada gedung perpustakaan, sebelum kita semua, termasuk pengelola Gedung Suman HS, benar-benar berhasil mengisi gedung ini dengan naskah-naskah Melayu yang serius. Kalau perlu naskah-naskah yang kini berserakan di rumah-rumah penduduk di desa-desa, haruslah dikejar, dibeli, dipelihara, diganti rugi dengan selayaknya. Bila hal ini dapat dikerjakan secara serius, maka mimpi-mimpi indah dari hamba negeri ini untuk menjadikan Gedung Suman HS sebagai pusat perpustakaan Melayu terbesar, akan terwujud.
Atau yang akan terjadi di depan adalah sebaliknya ? ( Husnu Abadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar