Rabu, 01 April 2009

PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

Oleh : Husnu Abadi
Ketua Pusat Studi Konstitusi Indonesia (PSKI) Universitas Islam Riau

Ada peristiwa politik yang terjadi minggu ini yang berkenaan dengan eksistensi suatu partai. Konsolidasi Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas), mendapat perlawanan dari kekuatan anti komunis yang tergabung dalam Front Pembela Islam, Forum Betawi Rempug, Pelajar Islam Indonesia, Front Pembela Merah Putih. Perlawanan itu berakibat adanya bentrokan fisik antara kedua kekuatan itu (Kompas, 30 Mart). Menariknya adalah satu pihak menuduh Papernas adalah bentuk baru dari kebangunan kembali Partai Komunisme Indonesia atau yang menganut paham komunisme. Di lain pihak, pimpinan Papernas menantang untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan itu. Aksi penentangan atas eksistensi Papernas telah beberapa kali dilakukan yaitu ketika Kongres I di Kaliurang, Januari 207 dan ketika Konferensi Daerah Jawa Timur di Malang, Mart 2007. Selain melakukan aksi penghadangan, FPI juga menyampaikan aspirasi kepada Ketua DPRRI Agung Laksono. (Riau Pos, 30 Mart).
Rezim pasca Orde Baru, telah mengalami kemajuan dalam memberikan penghormatan atas kebebasan berasosiasi dan berpartai. Era reformasi telah banyak meninggalkan karakter rezim yang otoriter. Terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pengawasan atas eksistensi suatu partai, antara masa Soeharto dengan masa reformasi. Dalam masa Soeharto, kewenangan untuk melakukan pengawasan, pembekuan dan pembubaran suatu partai politik, berada di tangan pemerintah. Hal ini dirumuskan dalam Undang-Undang tentang Partai Politik, baik dalam UU No. 3 Tahun 1975 ataupun UU No. 3 Tahun 1985. Sistem yang ada itu menempatkan pemerintah bertindak sebagai penyidik, penuntut sekaligus hakim. Keberadaan kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung) hanya berfungsi dan terbatas sebagai lembaga yang memberikan pertimbangan yang pertimbangannya disampaikan kepada presiden. Tindakan pembekuan atau pembubaran atas suatu partai sangat tergantung dari hasil penilaian presiden atas pelanggaran partai tersebut atas ketentuan undang-undang. Presiden dalam hal ini merupakan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan lembaga MPR, yang terdiri dari kekuatan-kekuatan politik baik partai politik, militer atau utusan daerah dan utusan golongan. Pembentukan partai sebagai perwujudan dari kebebasan ber-asosiasi, ditutup rapat atau tidak ada ruang. Ruang lingkup pengawasan meliputi asas dan tujuan partai yang harus mengamalkan dan mengamankan Pancasila, larangan melaksanakan dan menyebarkan faham komunisme.
Dalam masa reformasi, proses demokratisasi terjadi dengan bergesernya kewenangan melakukan pembubaran atas suatu partai dari presiden ke pemegang kekuasaan kehakiman. Amandemen konstitusi memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi. Pengawasan dilakukan oleh Departemen Kehakiman, Komisi Pemilihan Umum dan Departemen Dalam Negeri.
Ruang lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri meliputi kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 atau undang-undang lainnya, kegiatan yang membahayakan NKRI, kegiatan yang bertentangan kebijakan pemerintah dalam memelihara persahabtan dengan negara lain, larangan menerima bantuan dari pihak asing, BUMN, BUMD, BUM Desa, larangan menganut dan menyebarkan faham komunisme.
Sedangkan untuk proses pembubaran, pemerintah diberikan kewenangan untuk berposisi sebagai pemohon. Permohonan untuk pembubaran partai harus disertai uraian tentang idiologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai yang dianggap betertentangan dengan UUD 1945. Dalam hukum acara di MK, tidak diberikan peluang adanya gugatan perwakilan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan masa awal reformasi. Sebagai konsekuansi dari adanya pembaharuan undang-undang politik, lahirlah UU No.2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membekukan atau membubarkan suatu partai. Menjawab kewenangan ini, keluarlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1999 yang memberikan pengakuan atas adanya gugatan perwakilan masyarakat (class action) untuk mengajukan gugatan pembubaran suatu partai atas tuduhan pelanggaran undang-undang. Lihat kasus gugatan perwakilan masyarakat yang menuntut pembubaran Partai Golongan Karya di Mahkamah Agung, Tahun 2001.
Kembali pada kasus tuduhan FPI tentang dianutnya faham komunisme oleh Partai Papernas. Bila FPI bertujuan untuk memasuki wilayah hukum, yaitu pembubaran Partai Papernas, ada baiknya dilakukan pengumpulan fakta di lapangan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Papernas yang berkaitan dengan asas, idiologi, program, kegiatan dimaksud. Hanya saja, FPI dan kawan-kawan tidak dapat mewakili masyarakat untuk mengajukan gugatan ke MK, namun harus membawanya dan mendesakkannya dulu ke pemerintah. Bila pemerintah sependapat dengan FPI, barulah pemerintah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, agar Partai Papernas dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Bagiamana kalau pihak pemerintah, dengan pertimbangannya sendiri, termasuk pertimbangan politik, tidak mengajukan permohonan pembubaran kepada MK ?
Hal ini terjadi ketika Presiden Soekarno tidak bersedia menggunakan kewenangannya untuk membubarkan PKI, walaupun tuntutan untuk itu telah disuarakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia !

* Harian Riau Pos, Hari Selasa, 3 April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar